Rabu, 21 Mei 2008

NILAI YANG HILANG

Syahdan, di sebuah kerajaan, tepatnya di Romawi Kuno, hiduplah seorang Pak Tani yang sangat baik hati. Karena satu alasan dan lain hal, Pak Tani tersebut bermaksud menjual satu-satunya rumah miliknya kepada tetangganya. Dengan harga yang telah disepakati bersama, resmilah rumah Pak Tani tersebut berpindah tangan, dan menjadi milik tetangganya.

Singkat cerita, pada suatu hari yang tak pernah terduga sebelumnya, pemilik rumah baru tersebut (tetangga Pak Tani) menemukan harta karun yang tersimpan di dalam tanah bekas rumah Pak Tani. Maka, dengan muka yang terbelalak, kaget tidak percaya, bergegaslah ia menemui Pak Tani yang menjual rumahnya tersebut. Sesampainya disana, tanpa basa-basi dia mengatakan kepadan Pak Tani, “ Pak Tani, dengan tidak sengaja aku telah melakukan penggalian di bekas rumahmu untuk tujuan tertentu; namun yang tidak bisa ku percaya, ku temukan di dalamnya piringan-piringan emas”. “Lantas, apa yang menjadi kepentingan tuan kemari?” sahut Pak Tani terheran-heran. “Maksud kedatanganku kemari adalah untuk memberitahukan hal tersebut, bahwa itu adalah hakmu, karena aku hanya membeli rumah dan tanahmu, bukan termasuk apa yang terkandung di dalamnya”. Petanipun menjawab, “Tidak, itu adalah hak tuan, karena akupun sama, tidak pernah tau kalau di dalamnya terdapat harta simpanan, percayalah, itu rizki tuan, yang dititipkan Tuhan melaluiku”. Demikian pernyataan dan pendirian kedua orang tersebut, kedua-duanya saling menyerahkan dan tidak ada yang mau menerima. Satu sama lain menganggap, bahwa harta simpanan tersebut bukan hak mereka. Pembeli beranggapan bahwa petanilah yang berhak memiliki harta sersebut, dan demikian pula sebaliknya.

Maka, pada keesokan harinya, keduanya bersepakat menghadap Sang Raja, guna meminta solusi terkait masalah mereka. Setelah mendengar pernyataan dan alasan kedua belah pihak – perihal harta karun tersebut – Sang Raja tertegun sejenak, jauh di dalam hatinya tersimpan kekaguman mendalam pada kedua orang tersebut. Akirnya, setelah berfikir beberapa jurus lamanya, Sang Rajapun angkat bicara, “ Begini, Pak Tani, apakah kamu memiliki seorang anak?” “ Ya, saya memiliki seorang putra yang sekarang sudah beranjak dewasa”. Jawab petani dengan jujur. “ Sekarang giliranmu!” tegur Sang Raja pada tetangga Pak Tani yang membeli rumahnya tersebut. “ Apakah kamu juga memiliki seorang anak?” “ Ya, saya juga memiliki seorang putri, yang sekarang sedang beranjak dewasa”. Demikian jawab tetanggga Pak Tani tersebut dengan tidak kalah jujurnya. Sang Rajapun melanjutkan ucapannya, “ Baik, kalau demikian adanya, keputusanku adalah, kalian harus menikahkan kedua anak kalian, dengan demikian kalian berdua akan menjadi sebuah keluarga besar, dan harta tersebut, dapat kalian pergunakan untuk kepentingan dan kelangsungan hidup anak-anak kalian”. Mendengar keputusan tersebut, Pak Tani dan tetangganya saling berpandangan. Namun keduanya faham, bahwa itulah putusan yang paling bijak. Maka pulanglah keduanya dengan hati berbunga-bunga penuh kebahagiaan. Akhirnya, sesuai permintaan Sang Raja, merekapun menikahkan kedua anaknya, dan berkat itu semua, mereka menjadi keluarga besar yang berkecukupan.***

Sahabat, cerita di atas, kemungkinan hanya sebuah dongeng fiksi belaka, yang kalau kita cari kebenaran faktanya, bisa jadi tidak akan pernah ketemu. Namun, kalau kita melihatnya dengan kedalaman hati dan kejernihan jiwa, maka akan kita dapati beberapa pelajaran yang sarat dengan nilai dan hikmah. Kita bisa berandai-andai, kalau saja para pemimpin kita sekarang (Presiden, Wakil Presiden, Anggota Dewan, Gubernur, Bupati dll) seperti Sang Raja, dan semua rakyatnya seperti Pak Tani dan tetangganya – sebagaimana cerita di atas – insya Allah, Indonesia akan menjadi baldatun thoyyibatun wa Robbun Ghofur, toto titi tentrem, gemah ripah loh jinawi. Tidak seperti sekarang. Krisis terjadi hampir di segala bidang. Pengangguran dan kemiskinan semakin bertambah-tambah. Korupsi dan ilegal loging meraja lela. Tawuran antar masa dan kejahatan semakin meningkat. Dan masih banyak lagi, yang mana semuanya menunjukan, bahwa bangsa ini masih belum sembuh dari sakit panasnya. Tapi, apapun yang terjadi, kita sebagai komponen bangsa harus tetap optimis. Karena setetes harapan akan jauh lebih baik, ketimbang putus asa atau sekedar hayal yang muluk – tanpa usaha. “Banyak jalan menuju Roma”. Walaupun kenyataannya, Roma yang sering dielu-elukan tersebut cuma satu (ibu kota Itali).

Tidak ada komentar: