Rabu, 15 Oktober 2008

Tut Wuri Handayani dan Kearifan Penggagasnya

Tut Wuri Handayani” yang kita kenal sebagai Semboyan Pendidikan Nasional, tidak dapat dipisahkan dari sosok Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara (1889-1959). Sebenarnya, kata-kata tersebut terambil dari ungkapan beliau sendiri, yaitu: Ing ngarso sung tulodo (di depan memberikan teladan), ing madyo mangun karso (di tengah membangun motivasi), tut wuri handayani (di belakang memberikan inspirasi). Pada awalnya, ungkapan tersebut dijadikan semboyan untuk Perguruan Taman Siswa, lembaga pendidikan yang didirikannya pada tahun 1922, sebagai upaya untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat pribumi agar memperoleh pendidikan yang layak seperti kaum priyayi dan Bangsa Belanda.

Taman Siswa adalah lembaga pendidikan pra kemerdekaan yang lahir atas dasar keprihatinan terhadap nasib bangsa yang kian hari kian tidak menentu, di bawah bayang-bayang dominasi dan penindasan bangsa lain. Karenanya, Taman Siswa dimunculkan sebagai wahana pembangunan masyarakat untuk mencapai manusia Indonesia yang seutuhnya, merdeka secara lahir dan batin, tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb; dan mampu mengendalikan setiap keadaan – sesulit apapun. Adapun tujuan pendidikan Tamansiswa – sebagaimana yang di cita-citakan oleh penggagasnya – adalah untuk mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang paripurna – beriman, bertakwa, merdeka, berbudi luhur, cerdas, memiliki sekil, dan sehat jasmani dan rohani (www.dikti.go.id.28/8/08).

Semboyan dan Jati Diri
Di tengah krisis multi dimensi yang melanda Bangsa Indonesia waktu itu – sebagai akibat dari penjajahan – segala daya dan upaya dipersembahkan oleh para patriot untuk ibu pertiwi tercinta. Mereka sadar, bahwa hanya dengan pendidikan, keterpurukan nasib bangsa akan segera dapat teratasi. Agaknya, kondisi yang serba memprihatinkan inilah yang memaksa Ki Hajar Dewantara untuk memunculkan sebuah semboyan, atau slogan yang dapat memicu semangat bangsa ini menuju kedewasaan dan kemapanan. Maka terambilah "tut wuri handayani" sebagai semboyan untuk Taman Siswanya.

Kata-kata tersebut, kalau dicermati secara seksama, memiliki kaitan yang cukup erat dengan gambaran umum tentang status sosial sebuah masyarakat atau bangsa; yang ada ada kalanya di atas (ing ngarso), di tengah (ing madyo), bahkan di bawah (tut wuri). Dan dalam pada itu, sudah selayaknya kalau setiap masyarakat atau bangsa, apapun statusnya, harus berusaha untuk mendayagunakan segenap kemampuannya demi kepentingan bersama. Namun, yang menjadi big question adalah, kenapa “tut wuri handayani” yang dipilih beliau sebagai semboyan, bukan “ing madyo mangun karso” atau “ing ngarso sung tulodo”? Pertanyaan ini penting untuk dicermati terkait dengan nasib pendidikan bangsa Indonesia saat ini. Padahal, status tengah akan lebih baik dari status bawah, dan status atas akan lebih baik dari status tengah. Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dilakukan beberapa pengamatan yang cukup intens. Kemungkinan pertama – perihal tutwuri handayani sebagai semboyan – tekait dengan Sistem Among yang diterapkan oleh beliau dalam metodologi pembelajaran yang diberlakukan di Taman Siswa pada waktu itu. Dimana Sistem Among merupakan metode pembelajaran yang berorientasi untuk menjaga, membina, dan mendidik anak dengan kasih sayang. Karenanya, guru disebut dengan pamong, yaitu seorang yang harus mengemong anak didiknya dari waktu ke waktu, tidak terbatas pada jam belajar di kelas. Dan dalam mengemong, idealnya seorang guru harus berada di belakang, agar dapat memperhatikan anak didiknya, mengatur dan mengarahkan dengan baik. Kemugkinan kedua, beliau menginsafi kondisi bangsanya carut marut pada saat itu, terutama dalam bidang pendidikan, dimana tingkat pendidikan bangsa Indonesia sangat rendah, jauh tertinggal oleh bangsa-bangsa lain. Maka dalam kondisi yang serba sulit tersebut, paling tidak, sebagai komponen bangsa (terlebih guru) harus tetap memberikan dorongan dan insfirasi. Maka berdasarkan kedua kemungkinan di atas, pengambilan “tut wuri handayani” sebagai semboyan dirasa lebih relevan jika dibandingkan dengan “ing madyo mangun karso” apalagi “ing ngarso sung tulodo”. Dan dalam perkembangannya, semboyan tersebut dipatenkan menjadi semboyan Pendidikan Nasional.

Status Baru Pendidikan Nasional
Dalam kurun waktu yang relatif panjang, sejak didirikannya Perguruan Taman Siswa (1922) hingga kini – dimana Indonesia telah merayakan kebangkitannya yang ke-100 – pembangunan pendidikan di Indonesia telah mengalami banyak kemajuan yang cukup signifikan, meskipun di sana-sini masih banyak yang perlu dibenahi. Berdasarkan laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada kamis (29/11/07) menunjukkan, bahwa raport pendidikan Indonesia menduduki peringkat ke-62 dari 130 negara di dunia. Catatan prestasi ini, mengalami penurunan empat angka jika dibanding dengan tahun sebelumnya. Dengan demikian education development index (EDI) Indonesia (0.935) berada di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965) (www.opinibebas.epajak.org.1/9/08).

Namun, di tengah-tengah kondisi pendidikan yang jauh dari kategori kwalitas baik ini, Indonesia masih memiliki catatan prestasi yang dapat dibanggakan. Ternyata, kwalitas individu dari anak-anak Indonesia mampu menorehkan tinta emas di kancah sains internasional. Berikut adalah prestasi-prestasi tersebut: Indonesia pernah menempati urutan ke-2 se-Asia setelah Cina dalam bidang fisika, menempati papan atas fisika dunia (10 besar) dengan membawa pulang medali emas, berkali-kali mendapat peringkat atas dengan kriteria First Step to Nobel Prize, dan menjuarai kompetisi komputer di India dan Las Vegas dengan kriteria ranking 1 absolut. Demikian pula di bidang-bidang lainnya, seperti matematika, kimia dan biologi (www.ochta.wordpress.com.1/9/08).

Akhirnya, terlepas dari semua kekurangan dan prestasi yang telah ditorehkan anak-anak negri ini, kita sebagai komponen bangsa yang memiliki visi dan misi yang jelas, berkewajiban untuk meng-upgread jati diri dan kehormatan Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi lagi, agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Semangat “tut wuri handayani” yang telah dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, hendaknya diteruskan menjadi “ing madyo mangun karso”, yang berarti, Indonesia sekarang harus mampu mengobarkan semangat pembaharuan di tengah msyarakatnya. Hal ini sesuai dengan kategori yang disandang oleh Indonesia dalam Human Development Index. Dimana UNDP (United Nation Development Program) dalam laporannya pada tahun 2006-2007 menggolongkan Indonesia kedalam Negara dengan Pembangunan SDM Menegah (Medium Human Development). Bahkan, kerja keras serta perjuangan tersebut tidak boleh hanya sampai di situ, harus lebih dikembangkan lagi, agar kedepan Indonesia dapat menjadi teladan bagi bangsa-bangsa lain (ing ngarso sung tulodo).

Niat Menurut Joseph Schacht

A. Pendahuluan

Niat adalah sesuatu yang sangat fundamental dalam Islam[1]. Karenanya, niat tidak dapat dipisahkan dari setip prosesi ibadah. Dalam kitab hadits Al -Arbain Al-Nawawiyyah, terdapat satu riwayat yang menerangkan tentang betapa pentingnya proses niat tersebut: "Dari Amirul Mukminin Abi Hafsh Umar bin Al-Khottob r.a. berkata: aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda “ sesungguhnya (sahnya) amal perbuatan hanya dengan niat. Bagi setiap orang tergantung niyatnya. Barang siapa yang (niat) hijrahnya karena karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasulnya. Dan barang siapa (niat) hijrahnya karena perempuan yang inigin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai apa yang dia niatkan". (HR. Bukhory Muslim).

Hadits tersebut, menurut Ibnu Daqiq dikategorikan sebagai salah satu hadits yang menggerakan roda Islam. Imam Ahmad dan Imam syafi’I menambahkan, bahwa hadits tersebut memuat sepertiga ilmu. Alasannya adalah – sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Baehaqi dan yang lainnya – karena setiap perbuatan seorang hamba berkaitan dengan tiga aspek, yaitu: hati, lisan, dan anggota tubuh. Sedangkan niat adalah satu dari ketiga hal tersebut. Al-Imam Al-Syafi’i pernah meriwayatkan secara terpisah, bahwa hadits tersebut masuk (menjadi topik bahasan) dalam tujuh puluh bab masalah-masalah fikih. Sedangkan mayoritas ulama mengatakan, bahwa hadits tersebut, merupakan sepertiga bagian dari islam itu sendiri[3]. Berkenaan dengan hal inilah, Joseph Schacht, dalam bukunya Pengantar Hukum Islam, mencoba menguraikan tentang hal-ihwal niat dalam Islam. Mencoba membandingkan antara satu ibadah dan yang lainnya berdasrkan niat.

B. Definisi Niat
Menurut Abdurrohman Al-Jaziry, yang dimaksud dengan niat adalah ketetapan hati untuk melakukan ibadah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah semata. Atau, dapat pula diartikan dengan al-irodah al-qowiyyah (keinginan yang kuat).[4]
Sebenarnya, ahli fikih sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Karenanya, seorang yang nelapalkan niat ketika hendak melaksanakan sholat, misalnya, tapi hati kecilnya menolak, maka keabsahan sholatnya menjadi gugur.[5]

C. Konsep Niat Dalam Pandangan Joseph Schacht
Dalam pandangan Islam, kewajiban agama tidak hanya dilihat dari penampilan luar, tetapi - lebih jauh dari itu - berdasarkan niat dan ketulusannya. Biasanya, niat diucapkan secara exsplisit atau verbal, sekurang-kurangnya secara bathiniyah. karena perbuatan tanpa niat dianggap tidak sah, demikian pula niat tanpa perbuatan. Sehingga, konsep niat dimaksudkan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Akan teapi, pernyataan ini dalam hukum Islam bukan hanya sebuah manifestasi dari kehendak, ia mempunyai nilai sendiri, dan didalam keadaan tertentu dapat menghasilkan akibat-akibat hukum meskipun tanpa atau melawan kehendak[6].
Sebuah pernyataan, yang dibuat dalam istilah yang exsplisit dan formal secar hukum sah, meskipun niatnya tidak diucapkan. Kemudian, pernyataan niat yang tidak sempurna masih dianggap sah menurut hukum . Kecuali kalau ucapannya salah, maka dipandang tidak sah. [7]
Meskipun demikian, pernyataan niat tidak didevinisikan dengan sempit. hukum Islam juga mengakui pernyataan niat dengan menggunakan isyarat. Tetapi, hal tersebut tidak berlaku sebagai ketentuan umum. Hanya berlaku pada ksus-kasus tertentu, seperti pada kasus mempelai wanita Ketika dia diam, tersenyum, atau menangis yang berarti setuju.

Sebenarnya, dari konsep niat tersebut, tidak ada yang secara tegas dibantah atau disangsikan oleh Joseph Schacht. Hanya saja, dia menganggap bahwa konsep tersebut sangat rumit, dan merepotkan. Karenanya, dia menyarankan agar semua bentuk pernyataan niat perlu diuji kembali. Terlebih pada pernyataan niat yang dianggap meragukan dan tidak jelas (mubham).

D. Kesimpulan dan Penutup
Niat adalah sesuatu yang sangat penting, sebagai manifestasi dari ajaran Islam yang tidak hanya mementingkan aspek lahir, tetapi juga aspek batin. Ketika kita melihat seseorang yang pergi kepasar, secara spontan kita bisa mengartikan bahwa dia akan membeli sesuatu. Tetapi, belum tentu demikian kalau kita melihat dari sisi hatinya. Karena bisa saja dia ingin mencuri atau melakukan hal-hal lainnya. Dengan demikin, Islam sangat seimbang dalam mengajarkan konsep niat, dimana bukan amal perbuatan semata yang dinilai, tetapi juga ketulusan hati.

Akan halnya dengan anggapan Joseph Schacht yang menyatakan bahwa konsep niat sangat rumit, sebetulnya tidak demikian. karena tidak setiap Ibadah menghajatkan konsep-konsep niat seperti yang dijelaskan diatas. Al-Imam Al-Syafi’i sendiri memasukan niat hanya dalam tujuh puluh masalah-masalah keislaman. Berarti, yang selebihnya sangat fleksibel. Ibnu Rusyd Dalam bukunya Bidayah al-Mujtahid, mengemukakan dua pendapat mayoritas ulama tentang niat. Yang intinya adalah: niat diwajibkan sebagai persaratan untuk kesempurnaan sifat dan bilangan suatu ibadah. Sedangkan ibadah yang tidak memiliki sifat dan bilangan, tidak diperlukan niat, karena sudah bisa difahami secara akal[8]. Dengan demikian, sebenarnya konsep niat dalam Islam tidaklah sesulit dan serumit yang dibayangkan oleh Joseph Schacht. Demikian semoga bermanfaat.



End Not
[1] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, hal. 173
[2] al-Nawawi, Yahya Syarofuddin, Al-Imam , Al-Arba’in Al-Nawawiyyah, Jeddah: 1415 H, Muassasah al-Thiba’ah wa al- Shihafah wa al- Nasyr hal. 9
[3] Ibid, hal. 10
[4] Al-Jaziry, Abdurrahman , Al-Fikh ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: tanpa tahun, Ihya Al-turats Al-Aroby, hal.209
[5] Ibid, hal. 209
[6] OP. Cit. Joseph Schacht hal. 174
[7] OP. Cit. Joseph Schacht hal. 174
[8] Ibnu Rusd, Bidayah Al-Mujtahid, tanpa nama kota dan tahun, Dar Al-Fikr, hal. 329