Rabu, 15 Oktober 2008

Tut Wuri Handayani dan Kearifan Penggagasnya

Tut Wuri Handayani” yang kita kenal sebagai Semboyan Pendidikan Nasional, tidak dapat dipisahkan dari sosok Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara (1889-1959). Sebenarnya, kata-kata tersebut terambil dari ungkapan beliau sendiri, yaitu: Ing ngarso sung tulodo (di depan memberikan teladan), ing madyo mangun karso (di tengah membangun motivasi), tut wuri handayani (di belakang memberikan inspirasi). Pada awalnya, ungkapan tersebut dijadikan semboyan untuk Perguruan Taman Siswa, lembaga pendidikan yang didirikannya pada tahun 1922, sebagai upaya untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat pribumi agar memperoleh pendidikan yang layak seperti kaum priyayi dan Bangsa Belanda.

Taman Siswa adalah lembaga pendidikan pra kemerdekaan yang lahir atas dasar keprihatinan terhadap nasib bangsa yang kian hari kian tidak menentu, di bawah bayang-bayang dominasi dan penindasan bangsa lain. Karenanya, Taman Siswa dimunculkan sebagai wahana pembangunan masyarakat untuk mencapai manusia Indonesia yang seutuhnya, merdeka secara lahir dan batin, tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb; dan mampu mengendalikan setiap keadaan – sesulit apapun. Adapun tujuan pendidikan Tamansiswa – sebagaimana yang di cita-citakan oleh penggagasnya – adalah untuk mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang paripurna – beriman, bertakwa, merdeka, berbudi luhur, cerdas, memiliki sekil, dan sehat jasmani dan rohani (www.dikti.go.id.28/8/08).

Semboyan dan Jati Diri
Di tengah krisis multi dimensi yang melanda Bangsa Indonesia waktu itu – sebagai akibat dari penjajahan – segala daya dan upaya dipersembahkan oleh para patriot untuk ibu pertiwi tercinta. Mereka sadar, bahwa hanya dengan pendidikan, keterpurukan nasib bangsa akan segera dapat teratasi. Agaknya, kondisi yang serba memprihatinkan inilah yang memaksa Ki Hajar Dewantara untuk memunculkan sebuah semboyan, atau slogan yang dapat memicu semangat bangsa ini menuju kedewasaan dan kemapanan. Maka terambilah "tut wuri handayani" sebagai semboyan untuk Taman Siswanya.

Kata-kata tersebut, kalau dicermati secara seksama, memiliki kaitan yang cukup erat dengan gambaran umum tentang status sosial sebuah masyarakat atau bangsa; yang ada ada kalanya di atas (ing ngarso), di tengah (ing madyo), bahkan di bawah (tut wuri). Dan dalam pada itu, sudah selayaknya kalau setiap masyarakat atau bangsa, apapun statusnya, harus berusaha untuk mendayagunakan segenap kemampuannya demi kepentingan bersama. Namun, yang menjadi big question adalah, kenapa “tut wuri handayani” yang dipilih beliau sebagai semboyan, bukan “ing madyo mangun karso” atau “ing ngarso sung tulodo”? Pertanyaan ini penting untuk dicermati terkait dengan nasib pendidikan bangsa Indonesia saat ini. Padahal, status tengah akan lebih baik dari status bawah, dan status atas akan lebih baik dari status tengah. Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dilakukan beberapa pengamatan yang cukup intens. Kemungkinan pertama – perihal tutwuri handayani sebagai semboyan – tekait dengan Sistem Among yang diterapkan oleh beliau dalam metodologi pembelajaran yang diberlakukan di Taman Siswa pada waktu itu. Dimana Sistem Among merupakan metode pembelajaran yang berorientasi untuk menjaga, membina, dan mendidik anak dengan kasih sayang. Karenanya, guru disebut dengan pamong, yaitu seorang yang harus mengemong anak didiknya dari waktu ke waktu, tidak terbatas pada jam belajar di kelas. Dan dalam mengemong, idealnya seorang guru harus berada di belakang, agar dapat memperhatikan anak didiknya, mengatur dan mengarahkan dengan baik. Kemugkinan kedua, beliau menginsafi kondisi bangsanya carut marut pada saat itu, terutama dalam bidang pendidikan, dimana tingkat pendidikan bangsa Indonesia sangat rendah, jauh tertinggal oleh bangsa-bangsa lain. Maka dalam kondisi yang serba sulit tersebut, paling tidak, sebagai komponen bangsa (terlebih guru) harus tetap memberikan dorongan dan insfirasi. Maka berdasarkan kedua kemungkinan di atas, pengambilan “tut wuri handayani” sebagai semboyan dirasa lebih relevan jika dibandingkan dengan “ing madyo mangun karso” apalagi “ing ngarso sung tulodo”. Dan dalam perkembangannya, semboyan tersebut dipatenkan menjadi semboyan Pendidikan Nasional.

Status Baru Pendidikan Nasional
Dalam kurun waktu yang relatif panjang, sejak didirikannya Perguruan Taman Siswa (1922) hingga kini – dimana Indonesia telah merayakan kebangkitannya yang ke-100 – pembangunan pendidikan di Indonesia telah mengalami banyak kemajuan yang cukup signifikan, meskipun di sana-sini masih banyak yang perlu dibenahi. Berdasarkan laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada kamis (29/11/07) menunjukkan, bahwa raport pendidikan Indonesia menduduki peringkat ke-62 dari 130 negara di dunia. Catatan prestasi ini, mengalami penurunan empat angka jika dibanding dengan tahun sebelumnya. Dengan demikian education development index (EDI) Indonesia (0.935) berada di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965) (www.opinibebas.epajak.org.1/9/08).

Namun, di tengah-tengah kondisi pendidikan yang jauh dari kategori kwalitas baik ini, Indonesia masih memiliki catatan prestasi yang dapat dibanggakan. Ternyata, kwalitas individu dari anak-anak Indonesia mampu menorehkan tinta emas di kancah sains internasional. Berikut adalah prestasi-prestasi tersebut: Indonesia pernah menempati urutan ke-2 se-Asia setelah Cina dalam bidang fisika, menempati papan atas fisika dunia (10 besar) dengan membawa pulang medali emas, berkali-kali mendapat peringkat atas dengan kriteria First Step to Nobel Prize, dan menjuarai kompetisi komputer di India dan Las Vegas dengan kriteria ranking 1 absolut. Demikian pula di bidang-bidang lainnya, seperti matematika, kimia dan biologi (www.ochta.wordpress.com.1/9/08).

Akhirnya, terlepas dari semua kekurangan dan prestasi yang telah ditorehkan anak-anak negri ini, kita sebagai komponen bangsa yang memiliki visi dan misi yang jelas, berkewajiban untuk meng-upgread jati diri dan kehormatan Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi lagi, agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Semangat “tut wuri handayani” yang telah dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, hendaknya diteruskan menjadi “ing madyo mangun karso”, yang berarti, Indonesia sekarang harus mampu mengobarkan semangat pembaharuan di tengah msyarakatnya. Hal ini sesuai dengan kategori yang disandang oleh Indonesia dalam Human Development Index. Dimana UNDP (United Nation Development Program) dalam laporannya pada tahun 2006-2007 menggolongkan Indonesia kedalam Negara dengan Pembangunan SDM Menegah (Medium Human Development). Bahkan, kerja keras serta perjuangan tersebut tidak boleh hanya sampai di situ, harus lebih dikembangkan lagi, agar kedepan Indonesia dapat menjadi teladan bagi bangsa-bangsa lain (ing ngarso sung tulodo).

Niat Menurut Joseph Schacht

A. Pendahuluan

Niat adalah sesuatu yang sangat fundamental dalam Islam[1]. Karenanya, niat tidak dapat dipisahkan dari setip prosesi ibadah. Dalam kitab hadits Al -Arbain Al-Nawawiyyah, terdapat satu riwayat yang menerangkan tentang betapa pentingnya proses niat tersebut: "Dari Amirul Mukminin Abi Hafsh Umar bin Al-Khottob r.a. berkata: aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda “ sesungguhnya (sahnya) amal perbuatan hanya dengan niat. Bagi setiap orang tergantung niyatnya. Barang siapa yang (niat) hijrahnya karena karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasulnya. Dan barang siapa (niat) hijrahnya karena perempuan yang inigin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai apa yang dia niatkan". (HR. Bukhory Muslim).

Hadits tersebut, menurut Ibnu Daqiq dikategorikan sebagai salah satu hadits yang menggerakan roda Islam. Imam Ahmad dan Imam syafi’I menambahkan, bahwa hadits tersebut memuat sepertiga ilmu. Alasannya adalah – sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Baehaqi dan yang lainnya – karena setiap perbuatan seorang hamba berkaitan dengan tiga aspek, yaitu: hati, lisan, dan anggota tubuh. Sedangkan niat adalah satu dari ketiga hal tersebut. Al-Imam Al-Syafi’i pernah meriwayatkan secara terpisah, bahwa hadits tersebut masuk (menjadi topik bahasan) dalam tujuh puluh bab masalah-masalah fikih. Sedangkan mayoritas ulama mengatakan, bahwa hadits tersebut, merupakan sepertiga bagian dari islam itu sendiri[3]. Berkenaan dengan hal inilah, Joseph Schacht, dalam bukunya Pengantar Hukum Islam, mencoba menguraikan tentang hal-ihwal niat dalam Islam. Mencoba membandingkan antara satu ibadah dan yang lainnya berdasrkan niat.

B. Definisi Niat
Menurut Abdurrohman Al-Jaziry, yang dimaksud dengan niat adalah ketetapan hati untuk melakukan ibadah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah semata. Atau, dapat pula diartikan dengan al-irodah al-qowiyyah (keinginan yang kuat).[4]
Sebenarnya, ahli fikih sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Karenanya, seorang yang nelapalkan niat ketika hendak melaksanakan sholat, misalnya, tapi hati kecilnya menolak, maka keabsahan sholatnya menjadi gugur.[5]

C. Konsep Niat Dalam Pandangan Joseph Schacht
Dalam pandangan Islam, kewajiban agama tidak hanya dilihat dari penampilan luar, tetapi - lebih jauh dari itu - berdasarkan niat dan ketulusannya. Biasanya, niat diucapkan secara exsplisit atau verbal, sekurang-kurangnya secara bathiniyah. karena perbuatan tanpa niat dianggap tidak sah, demikian pula niat tanpa perbuatan. Sehingga, konsep niat dimaksudkan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Akan teapi, pernyataan ini dalam hukum Islam bukan hanya sebuah manifestasi dari kehendak, ia mempunyai nilai sendiri, dan didalam keadaan tertentu dapat menghasilkan akibat-akibat hukum meskipun tanpa atau melawan kehendak[6].
Sebuah pernyataan, yang dibuat dalam istilah yang exsplisit dan formal secar hukum sah, meskipun niatnya tidak diucapkan. Kemudian, pernyataan niat yang tidak sempurna masih dianggap sah menurut hukum . Kecuali kalau ucapannya salah, maka dipandang tidak sah. [7]
Meskipun demikian, pernyataan niat tidak didevinisikan dengan sempit. hukum Islam juga mengakui pernyataan niat dengan menggunakan isyarat. Tetapi, hal tersebut tidak berlaku sebagai ketentuan umum. Hanya berlaku pada ksus-kasus tertentu, seperti pada kasus mempelai wanita Ketika dia diam, tersenyum, atau menangis yang berarti setuju.

Sebenarnya, dari konsep niat tersebut, tidak ada yang secara tegas dibantah atau disangsikan oleh Joseph Schacht. Hanya saja, dia menganggap bahwa konsep tersebut sangat rumit, dan merepotkan. Karenanya, dia menyarankan agar semua bentuk pernyataan niat perlu diuji kembali. Terlebih pada pernyataan niat yang dianggap meragukan dan tidak jelas (mubham).

D. Kesimpulan dan Penutup
Niat adalah sesuatu yang sangat penting, sebagai manifestasi dari ajaran Islam yang tidak hanya mementingkan aspek lahir, tetapi juga aspek batin. Ketika kita melihat seseorang yang pergi kepasar, secara spontan kita bisa mengartikan bahwa dia akan membeli sesuatu. Tetapi, belum tentu demikian kalau kita melihat dari sisi hatinya. Karena bisa saja dia ingin mencuri atau melakukan hal-hal lainnya. Dengan demikin, Islam sangat seimbang dalam mengajarkan konsep niat, dimana bukan amal perbuatan semata yang dinilai, tetapi juga ketulusan hati.

Akan halnya dengan anggapan Joseph Schacht yang menyatakan bahwa konsep niat sangat rumit, sebetulnya tidak demikian. karena tidak setiap Ibadah menghajatkan konsep-konsep niat seperti yang dijelaskan diatas. Al-Imam Al-Syafi’i sendiri memasukan niat hanya dalam tujuh puluh masalah-masalah keislaman. Berarti, yang selebihnya sangat fleksibel. Ibnu Rusyd Dalam bukunya Bidayah al-Mujtahid, mengemukakan dua pendapat mayoritas ulama tentang niat. Yang intinya adalah: niat diwajibkan sebagai persaratan untuk kesempurnaan sifat dan bilangan suatu ibadah. Sedangkan ibadah yang tidak memiliki sifat dan bilangan, tidak diperlukan niat, karena sudah bisa difahami secara akal[8]. Dengan demikian, sebenarnya konsep niat dalam Islam tidaklah sesulit dan serumit yang dibayangkan oleh Joseph Schacht. Demikian semoga bermanfaat.



End Not
[1] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, hal. 173
[2] al-Nawawi, Yahya Syarofuddin, Al-Imam , Al-Arba’in Al-Nawawiyyah, Jeddah: 1415 H, Muassasah al-Thiba’ah wa al- Shihafah wa al- Nasyr hal. 9
[3] Ibid, hal. 10
[4] Al-Jaziry, Abdurrahman , Al-Fikh ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: tanpa tahun, Ihya Al-turats Al-Aroby, hal.209
[5] Ibid, hal. 209
[6] OP. Cit. Joseph Schacht hal. 174
[7] OP. Cit. Joseph Schacht hal. 174
[8] Ibnu Rusd, Bidayah Al-Mujtahid, tanpa nama kota dan tahun, Dar Al-Fikr, hal. 329

Selasa, 02 September 2008

Ramadhan: Puasa Membuka Tabir Jati Diri Muslim


Sejak bulan rajab menjelang – terlebih ketika memasuki pertengahan bulan sya’ban – suasana hati kaum muslimin di berbagai belahan penjuru dunia dihinggapi kerinduan yang mendalam. Perasaan tersebut merupakan manifestasi cinta seorang hamba yang terdorong oleh fitrahnya untuk segera bersimpuh dan bersujud di hadapan Tuhan-Nya, mengingat gerak-gerik serta langkah kakinya yang – mungkin – selama ini bertambah jauh dari jalan-Nya. Hal ini merupakan tradisi baik yang telah dicontohkan oleh Nabi sendiri dan para sahabatnya, dimana mereka melakukan persiapan yang matang untuk menyambut kedatangan ramadhan. Karenanya – dalam menyambut ramadhan – para ulama terdahulu senantiasa meningkatkan kwalitas ibadahnya seraya berdoa, ”Ya Allah, karuniakan kepada kami pada bulan ini (Ramadhan) keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. Berikanlah kepada kami, taufik dan i’anyah-Mu agar kami mampu melaksanakan amalan-amalan yang Engkau cintai dan Engkau ridhai.”. hal ini senada dengan salah satu sabda yang diucapkan oleh nabi : Ya Allah, berkahilah kami di bulan rajab dan sya’ban, dan sampaikan kami kepada ramadhan(). Maka kita berucap al-hamdulillah penuh syukur, karena kita sekarang sudah berada di dalam.

Nilai Puasa

Bulan ramadhan sering juga disebut dengan bulan puasa, karena pada bulan tersebut ibadah puasa diwajibkan bagi setiap muslim yang telah cukup syarat. Sebenarnya, jika puasa dikaitkan dengan nilai-nilai agama atau alasan-alasan spiritual, maka hal tersebut telah menjadi bagian dari kebiasaan ummat manusia sejak zaman pra sejarah. Hal ini sebagaimana tersebut dalam Kitab Mahabarata, Injil, Qur’an, dan kitab-kitab suci agama lainnya (wikipedia, 29, 2008). Karenanya Allah s.w.t berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS.2: 183). Dalam ayat tersebut, Allah memberikan perintah dalam bentuk kalimat pasif (diwajibkan atas kalian). Ini menggambarkan, bahwa Allah tidak memonopoli puasa sebagai kewajiban yang datang dari-Nya semata, tetapi, manusia pun – di setiap tingkatan dan masa – memiliki kesadaran untuk melaksanakannya, mengingat manfaatnya yang begitu banyak (Quraisy Syihab, 1994).

Dalam pandangan Agama Hindu, puasa bertujuan untuk mematikan kehendak yang akan membawa manusia kepada penderitaan yang berkepanjangan. Karena dalam pandangan penganutnya, selama raga masih kuat, maka jiwa akan terhambat menuju nirwana – sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Sidarta Gautama ketika ia bertapa di bawah pohon bodhi, sehingga tubuhnya menjadi kurus kering tinggal tulang (HAMKA, 1983).

Sedangkan dalam Islam, puasa dimaksudkan sebagai media untuk mengarahkan dan mengendalikan diri, agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh nafsu yang akan menghantarkannya pada jalan yang salah. Karenanya, meskipun halal, selama berpuasa seorang muslim diharamkan makan, minum, dan melakukan hubungan seksual; terlebih hal-hal yang haram secara syar’i, seperti mencuri, berbohong, bersumpah palsu, membicarakan aib orang dan yang lainnya. Dan hal ini penting untuk dilakukan, mengingat naluri manusia diberi kebebasan oleh Allah s.w.t, tidak seperti binatang, yang secara insting telah teratur dengan sendirinya – dapat mengatur jenis, kadar, dan kebutuhannya, seperti makan, tidur, kawin dan yang lainnya. Inilah yang terkadang menimbulkan bahaya, atau paling tidak menghambat fungsi dan tujuan kemanusiaannya – jika tidak diatur atau diseimbangkan (Quraisy Syihab, 1994).

Puasa dan Jati Diri

Puasa sebagai usaha lahir batin, tidak hanya dilakukan oleh manusia, tapi juga oleh binatang-binatang tertentu. Seekor kepompong tidak akan pernah bermetamorfosa menjadi kupu-kupu dewasa yang indah dan cantik sebelum menjalankan “tapa brata” selama berhari-hari, dengan tidak makan dan minum. Proses ini sangat berat, melebihi apa yang dilakukan oleh puasa manusia. Namun, demi untuk menguak jati diri yang sebenarnya – karena tidak ingin terjebak dalam kejumudan – dan demi proses transformasi, semua itu dilakukan. Selanjutnya, dalam tingkatan yang lebih tinggi, ada diantara hewan yang melakukan tidur panjang selama musim dingin (hibernasi), seperti kelelawar, beruang kutub, jenis ikan tertentu dan yang lainnya. Proses ini, dilakukan demi untuk mempertahankan eksistensi dirinya di masa masa-masa mendatang. Contoh dari kedua binatang tersebut – yang melakukan ritual puasa sebagai sebuah keharusan – bertujuan untuk menguak jati diri yang sebenarnya, agar menjadi makhluk yang diterima dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya.

Sekarang, bagaimanakah hubungan antara puasa dengan jati diri seorang muslim? Dalam diri manusia, terdapat beberapa unsur yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Unsur-unsur tersebut – sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Imam Al-Ghozali – adalah animalisme, sadisme, satanic, akal dan rabbani. Seseorang yang dalam hidupnya terpengaruh oleh ketiga unsur negatif tadi, maka akan berprilaku layaknya hewan dan syetan, yang tidak tau malu, bengis, profokatif, mementingkan diri sendiri dan yang lainnya. Sedangkan kedua unsur positif (akal dan robbani) yang dimilikinnya terkadang tidak banyak membantu – kalah. Karenanya, seorang muslim memerlukan media lain untuk membantu dan menanggulangi krisis tersebut, dan yang paling efektif adalah ”puasa”.

Dengan berpuasa seorang muslim akan berusaha sedapat mungkin untuk mendekatkan dirinya kepada Allah, melakukan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangannya. Dengan demikian, ia akan mampu menelanjangi dirinya dari unsur-unsur tercela di atas; dan dalam pada itu, kecantikan serta keelokan pribadinya yang selama ini terpendam, akan muncul sebagai buah dari kesungguhannya, menjadi energi posotif yang banyak membawa manfaat. Lebih lanjut, Al-Ghozali menjelaskan, bahwa orang yang berpuasa dengan penuh kesungguhan (imanan wa ihtisaban) akan mampu membangkitkan energi positif yang terpendam dalam dirinya, yaitu: pertama, memiliki kejernihan dan ketajaman hati; karena puasa tak ubahnya zakat yang membersihkan sisa harta. Sebagaimana sabda Rasul.s.a.w.: ” segala sesuatu memiliki zakat, dan zakat badan adalah puasa. (HR: Ibnu Majah). Kedua, memiliki kepekaan terhadap sesama; karena seorang yang perutnya lapar akan mengingatkan selalu pada penderitaan sesamanya – tidak egois atau mementingkan diri sendiri. Ketiga, dapat mengendalikan diri dari syahwat; karena syahwat berasal dari energi yang dihasilkan oleh asupan makanan, maka orang yang lapar, akan jauh dari bayang-bayang syahwatnya yang memikat. Ketiga, menyehatkan badan dari berbagai gangguan penyakit. KH. Wahid Hasyim (mantan mentri agama pertama, yang juga bapak dari KH. Abdurahman Wahid) senantiasa mendawamkan puasa – meski di luar ramadhan – karena beliau merasakan, bahwa dengan berpuasa penyakit gula yang dideritanya menjadi berkurang. Keempat, menciptakan kesederhanan; karena seorang yang berpuasa akan menginsafi dirinya, bahwa hidup bukan sekedar makan, minum, dan berfoya-foya, tapi memiliki tujuan yang jauh lebih mulia. Demikianlah beberapa hal positif yang harus digali oleh setiap muslim yang melakukan ibadah puasa. Sehingga, paska ramadhan, nilai-nilai tersebut diharapkan dapat membumi kedalam pribadi setiap muslim – kembali kepada fitrahnya.


Kamis, 21 Agustus 2008

Imam Syafi'i dan Seorang Ateis


Seorang ateis mendatangi majlis Imam Syafi'i r.a., kemudian dia mengatakan: "Bukti apa yang dapat anda tunjukan tentang eksistensi Allah?" Maka sang Imam pun menjawab: " Daun murbey memiliki satu rasa, satu warna, satu aroma, dan satu karakter; tapi, ketika dimakan oleh ulat sutra, maka akan menghasilkan serat sutra; ketika dimakan oleh lebah, maka akan mengeluarkan madu; ketika dimakan oleh kambing, maka akan menumbuhkan daging dan menambah air susunya; ketika dimakan oleh rusa, maka aka memberinya nutrisi, dan dari kulitnya keluar minyak kesturi. Siapakah yang menjadikan hal tersebut memiliki banyak kategori dan hasil berbeda, sedang asalnya hanyalah satu? Dialah Allah.

فتبارك الله أحسن الخالقين

Belajar Dari Semut

Semut adalah salah satu jenis serangga yang hidup secara berkoloni. Jenis ini – yang termasuk kedalam family Formicidae – ­ jika dilihat dari bentuknya, tampak mirip seperti lebah. Allah s.w.t. mengabadikan nama tersebut dengan menjadikannya sebagai salah satu nama surat (Surat Al-Naml). Ketika Nabi Sulaeman a.s. sedang mengadakan perjalanan bersama bala tentaranya, beliau sempat dibuat tergelak oleh “seekor ketua koloni semut” yang bertingkah polah seperti dirinya. Al-Qur’an mencatatnya sebagai berikut: “Seekor semut berkata, wahai para semut, masuklah kalian ke tempat masing-masing, agar tidak terinjak-injak oleh sulaeman dan bala tentaranya, sedang mereka tidak merasakan”. (QS. al-Naml:18)

Senada dengan al-Qur’an, science modern mengungkap, bahwa semut memiliki alat komunikasi tersendiri – berupa kode-kode khusus – yang dipergunakan untuk memahami antar satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, semut-semut tersebut dapat menjalin kerjasama dengan baik, dan dapat pula memecahkan setiap problem yang ada dengan jalan musyawarah untuk mufakat – super organisme.

Ketika seekor semut mendapati makanan, maka dengan sigap akan langsung membawanya menuju sarangnya, baik untuk dibagikan secara langsung atau untuk disimpan sebagai cadangan makanan. Namun ketika tidak mampu membawanya, karena beban yang terlalu berat, maka hewan tersebut akan memanggil teman-temannya. Dan atas komandonya, sebagai penemu pertama – dalam barisan yang cukup panjang laksana devile pasukan – makanan tersebut akan dibawa secara bergantian – seperti sedang mengusung jenazah – menuju gudang penyimpanan makanan.

Dalam menyimpan makanan, jenis binatang ini memiliki intelegensia yang cukup tinggi. Dimana kalau makanannya berupa biji gandum, maka akan dibelahnya menjadi dua bagian, dan kalau berupa biji ketumbar, maka akan dibelahnya menjadi empat bagian. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar biji-bijian tersebut tidak tumbuh dalam sarang yang berupa terowongan-terowongan di dalam tanah. Namun yang lebih mengherankan lagi, semut adalah satu-satunya hewan yang mengubur bangkai sesamanya setelah terjadi pertarungan – menunjukan rasa bela sungkawa dan tanggung jawab.

Agaknya, inilah yang menjadi alasan (hikmah) kenapa Allah s.w.t. mengabadikan karakter semut di dalam al-Qur’an. Tentunya, agar – dengan tamtsil tersebut – kita mampu mewujudkan tata laksana organisasi dan kepemimpinan yang baik. Sehingga, kemakmuran dan kesejahteraan hidup akan segera terwujud. “Sesungguhnya pada hal yang demikian itu, terdapat pelajaran bagi orang-orang yang memiliki hati atau menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikan peristiwanya”. (QS. Qof:37).

Rabu, 20 Agustus 2008

ORANG-ORANG ASING DI MATA ALLAH

Akir-akhir ini, aliran-aliran keislaman cukup marak di Indonesia. Kita mendengar tentang Ahmadiyah, Islam Sejati, ajaran Salamullah, Al-Qur’an Suci, kemudian Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan yang lainnya. Dimana kesemuanya muncul kepermukaan dengan membawa karakteristiknya masing-masing. Sehingga, tak jarang ajaran-ajarannya menyalahi apa yang sudah ditetapkan oleh Allah s.w.t. Maka pastinya, hal-hal tersebut akan sangat mengganggu, bahkan merusak perkembangan Islam yang hakiki, yang dikehendaki oleh Allah.s.w.t.

Bercampurnya ajaran-ajaran Islam yang murni dengan faham-faham lainnya – baik dulu maupun sekarang – adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat kita ingkari lagi. Adapun sebabnya – yang membuat keislaman seseorang menjadi menyimpang dapat dikatakan melalui dua faktor. Pertama, extern (pengaruh yang berasal dari musuh-musuh Islam) dan kedua, intern (pengaruh yang berasal orang-orang Islam sendiri). Namun agaknya, penyimpangan atau kesesatan yang melanda ummat ini, banyak disebabkan oleh kalangan Islam sendiri, inilah yang sangat berbahaya. Karena satu logam besi, jika dipukul dengan jenis logam besi yang sama, akan terlihat jelas kerusakannya.

Setiap kita (sebagai orang awam), dapat melakukan penyimpangan-penyimpangan dari ajaran Islam yang sebenarnya, karena kebodohan dan kelalaian kita. Namun ini tidak seberapa, karena dampaknya hanya kepada diri kita pribadi. Tapi, kalau yang melakukan penyimpangan adalah seorang tokoh atau seorang ulama, maka akan sangat berbahaya, karena ajaran-ajarannya akan diikuti dan dijadikan sebagai petunjuk bahkan agama baru oleh para pengikutnya. Maka kalau sudah demikian, akan sangat susah untuk dihilangkan. Karena sebuah ideologi apaun bentuk dan macamnya, kalau sudah terlanjur muncul kepermukaan, maka akan sangat susah untuk dimusnahkan. karena pastinya, ada saja yang menjadi pengikut dan pembelanya. Ibarat pepatah arab mengatakan:

لكل ساقط لاقط

“setiap sesuatu yang jatuh, selalu ada pemungutnya”

Rasulullah s.a.w bersabda:

" إن الله تعالى يبعث لهذه الأمة على رأس كل ما ئة سنة من يجدد لها دينها" (حديث صحيح أحرجه أبو داود)

Sesungguhnya Allah s.w.t. Akan mengutus kepada ummat ini, di setiap penghujung abad (setiap seratus tahun sekali), orang-orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka”.

Hadits Rasulullah tersebut, menyatakan tentang akan hadirnya para mujaddid (pembaharu) yang akan memperbaharui agama Allah. Dimana mereka didatangkan atau dihadirkan oleh Allah setiap seratus tahun sekali. Maka pertanyaannya adalah, apakah orang-orang yang menyatakan bahwa dirinya mendapat wahyu dari Allah, kemudian mengaku sebagai Nabi, ingkar terhadap sunnah, tidak mewajibkan sholat dan puasa, disebut sebagai mujaddid-mujaddid yang diutus oleh Allah s.w.t kepada kita? Jawabannya – pasti – bukan. Karena yang dimaksud tajdid disini, bukannya memperbaharui sesuatu yang fundamental, yang menjadi prinsip dalam agama kita, atau menghadirkan sesuatu yang baru yang menyalahi Al-Qur’an dan Sunnah, atau mencampuradukan ajaran-ajaran Islam dengan yang lainnya. Tapi yang dimaksud tajdid di sini adalah membersihkan Islam dari unsur-unsur luar yang merasukinya, sehingga Islam tampak jadid (baru) sebagai mana asalnya – sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits.

Rasulullah s.a.w. Bersabda:

تركت فيكم أمرين لن تضلوا بعدى ما ان تمسكتم بهما, كتاب الله وسنة رسوله...

“ aku telah tinggalkan kepada kalian dua pusaka, dimana jika kalian berpegang teguh kepadanya, maka tidak akan pernah sesat, yaitu kitabullah dan sunnah rasulnya”

Maka, marilah kita menimbang apa yang kita lakukan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jika apa yang kita lakukan bersesuaian dengan keduanya, maka itulah kebenaran yang datangnya dari Allah, tapi kalau yang kita lakukan bertentangan dengan keduanya, maka itulah kesesatan yang harus kita hindari.

Allah s.w.t berfirman:

اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكمالإسلام دينا

Agama Islam yang kita peluk saat ini, adalah agama yang sudah disempurnakan ajaran-ajarannya oleh Allah s.w.t, sehingga akan selalu sesuai dengan tuntutan zaman, kapanpun dan dimanapun. Maka tidak perlu ditambah-tambahkan, atau dikurang-kurangkan.

Akhirnya, sebagai penutup dari tulisan yang singkat ini, marilah kita renungkan kembali hadits nabi berikut ini:

إن الإسلام بدأ غريبا وسيعود غريبا كما بدأ, فطوبى للغرباء, قيل من هم يا رسول الله؟ قال: الذين يصلحون إذ فسد الناس"

“sesungguhnya, Islam muncul sebagai agama yang asing, dan akan kembali (dianggap) asing seperti sedia kala, maka beruntunglah bagi orang-orang yang dianggap asing. Rasulullah s.a.w. ditanya, ‘siapakah orang-orang yang dianggap asing tersebut?”. Rasul menjawab:” mereka adalah orang-orang yang senantiasa berada dalam kebenaran, meskipun yang lain menyimpang”.

Mudah-mudahan kita termasuk kedalam golongan ummat Muhammad, yang selalu terpelihara dari hal-hal yang akan membuat kita semakin jauh dari ajaran-ajaran islam yang hakiki. Amin!

Papa Berjasa, Kaya Berderma

Allah S.W.T. berfirman dalam surat Al- Hasyr ayat ke 9:

والذين تبوؤا الدار والإيمان من قبلهم يحبون من هاجر إليهم ولا يجدون فى صدورهم حاجة مما أوتوا ويؤثرون على أنفسهم ولوكان بهم خصاصة. ومن يوق شح نفسه فأولئك هم المفلحون.

(dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum kedatangan mereka (orang-orang muhajirirn), mereka mencintai mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka merekalah orang-orang yang beruntung).

Yang menjadi sabab al-nuzul, atau sebab turunnya ayat tersebut adalah... sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Huraeroh berikut ini:

Disebutkan, bahwa suatu hari Rasulullah s.a.w. kedatangan seorang tamu. Beliau menerimanya dengan baik, lalu mengutarakannya kepada istri-istrinya (agar dijamu). Tapi mereka berkata: ”kami tidak memiliki apa-apa selain air putih”. Kemudian Rasulullah mendatangi para sahabatnya seraya bersabda: ”siapakah yang mau menerima tamuku ini dan menjamunya?” salah satu sahabat dari golongan anshor berkata: ” saya, wahai Rasulullah.” sahabat tersebut kemudian bergegas membawa tamunya kerumahnya dan berpesan kepada istrinya dengan berkata: ”muliakanlah tamu Rasulullah ini”

Istrinya menjawab perlahan: ”kita tak punya apa-apa selain makanan untuk anak-anak kita.” suaminya berkata.”siapkan makananmu, nyalakan pelitamu, dan tidurkan anak-anakmu.” sebelum makan malam, sang istri menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Ketika akan makan, ia berdiri seolah akan memperbaiki lampu, agar terkesan bahwa dia dan suaminya juga seolah-olah sedang makan. Mereka berdua membunyikan alat makannya, didalam gelap gulita itu... Keduanya menahan lapar semalaman, karena jatahnya disediakan untuk tamu Rasulullah.

Keesokan harinya, sahabat Anshor tersebut menghadap Rasululullah. Maka Rasulullah bersabda: ”Allah sangat kagum dan tertawa (melihat) perbuatan kalian berdua.” lalu, Allah S.W.T. menurunkan ayat diatas...

Ayat yang tersebut diatas, secara tidak langsung, memuji kedermawanan dari seorang Anshor tadi, yang lebih mengutamakan orang lain karena kebutuhannya, dari pada diri dan keluarganya, ولو كان بهم خصاصة (meskipun, secara pribadi, mereka juga termasuk orang-orang yang sangat membutuhkan). Begitu agung sifat itsar, yang ditunjukan oleh sahabat tadi, sehingga Allah menjadi terkagum, dan tertawa, atas apa yang dilakukannya.

Dalam sebuah riwayat lain disebutkan, bahwa Qais bin Saad bin Ubadah yang terkenal sangat dermawan, ketika jatuh sakit, kawan-kawannya merasa malu untuk menjenguknya; karena mereka banyak berhutang kepadanya. Melihat kondisi tersebut, Qais berkata: ”semoga Allah menghinakan harta yang menghalang-halangi kawan-kawanku untuk menjengukku.” lalu, ia-pun menyuruh seseorang untuk memberitahu mereka, bahwa pada hari itu, hutang-hutang mereka telah dianngap lunas. Maka tak lama kemudian, datanglah kawan-kawannya untuk menjenguknya. Dan hampir saja, pintu rumahnya menjadi rusak, karena banyaknya orang yang berkunjung.

Melihat Kedalam (instrospeksi)

Ketika kita berdiri, bercermin pada ayat dan beberapa riwayat diatas, rasanya, kita malu, karena betapa jauhnya bayangan kita, dari apa yang dilukiskan oleh Allah dan Rasulnya. Bahkan, mungkin sebaliknya, kita adalah orang yang rakus dan tamak, orang yang tidak mau menengok kekiri dan kekanan, untuk berbagi dengan sesama. Yang ada hanyalah aku, aku dan aku, bagaimana kebutuhanku bisa terpenuhi. Bila perlu sikut kiri, sikut kanan, jilat atas injak bawah, bahkan, uang hasil korupsipun tak jadi masalah.

Kadang, kita terbutakan oleh keinginan dan napsu. Sebaliknya, kita menutup rapat hati dan pikiran kita, yang merupakan suara kebenaran dari Allah. Maka berhati-hatilah, ketika keinginan kita sudah melebihi apa yang kita butuhkan!!!

Mungkin, dalam menjalani kehidupan ini, kita hanya butuh satu rumah, tapi kita mau dua bahkan lebih. Mungkin, kita hanya butuh satu mobil, tapi kita mau dua bahkan lebih. Mungkin, kita hanya butuh satu posisi (jabatan), tapi kita mau semua jabatan. Dan, mungkin, kita hanya butuh satu pendamping hidup, tapi kita mau dua bahkan lebih.

Kaya Harta Kaya Amal

Hidup mewah dengan semua yang dihalalkan oleh Allah S.W.T., bukanlah sesuatu yang dilarang. Tapi, bukan berarti kita lantas lupa diri, dan menjadi seorang yang kikir.

Dalam Islam, kita mengenal sosok Imam Al-Laets ibn Saad, seorang ahli fikih terkemuka, yang sezaman dengan Imam Malik. Dalam kesehariannya, hidupnya sangat mewah, berbeda dengan Imam-Imam lainnya. Beliau menikmati semua yang halal, yang dianugrahkan oleh Allah kepadanya. Karena penghasilannya setiap hari, tidak kurang dari 100.000 dinar – jumlah yang sangat banyak. Namun demikian, beliau adalah seorang yang sangat dermawan. Setiap hari, tidak kurang dari 300 orang fakir miskin diberinya makan, diluar sahabat dan kawan-kawannya. Dan sebagaimana kebiasaanya, beliau tidak pernah memberikan sedekah kurang dari 50 dinar.

Suatu hari, seorang wanita datang kepadanya meminta satu rithl madu, untuk mengobati anaknya. Maka Al-laets, memerintahkan juru tulisnya, untuk memberinya, satu Mart (120 rithl). Juru tulisnya berkata: ” wanita itu hanya meminta satu Rithl, mengapa anda memberinya satu marth?”. Al-Laets pun menjawab: ” ia meminta menurut kadar keperluannya, maka saya memberinya menurut kadar kemampuan saya”.

Demikianlah pendiriannya, sehingga tidak heran, meskipun kekayaannya berlimpah, tapi setiap haul (akhir tauhun) sisa tidak pernah mencapai nishob (batas minimal dimana seseorang harus membayar zakat). Sehingga beliaulah orangnya, orang kaya yang tidak terkena taklif untuk membayar zakat. Bahkan dalam fatwanya beliau mengatakan: ” haram hukumnya bagi seorang muslim untuk menyimpan kekayaan, sebelum orang-orang yang disekelilingnya mencapai haddul kifaf (batas kecukupan)”. Dimana mereka bisa memenuhi kebutuhan pokoknya, tidak ada yang mengemis karena takut lapar, dan tidak ada yang menangis karena kelaparan.

إن ذلك لذكر لمن كان له قلب أو ألقى السمع وهو شهيد ( ق: 37)

(sesungguhnya, pada hal yang demikian itu, terdapat peringatan (pelajaran) bagi orang yang memiliki hati, dan menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya)

Maka marilah kita belajar untuk mendermakan apa yang kita miliki, semata mata karena Allah. Mungkin, kita tidak punya cukup harta, tapi kita punya tenaga. Mungkin, kita tidak cukup punya tenaga, tapi kita punya ilmu yang bisa didermakan. Demikian, dan seterusnya...

Minggu, 01 Juni 2008

ISLAM DALAM PANDANGAN ROBERT SEPENCER

A. Pendahuluan

“Islam adalah agama yang sarat dengan cinta kasih dan kedamaian”. Pernyataan tersebut, tentu saja keluar dari mulut seorang muslim yang mencintai agamanya. Sayyid Qutub, seorang tokoh penting dalam dunia Islam modern, pernah menyanjung dan memuji Islam dengan ungkapan berikut: “Islam adalah agama damai dan akidah yang penuh cinta. Islam adalah sistem yang membawa misi agar seluruh alam berada dalam lingkungan dan rahmatnya, yang berupa kedamaian dan cinta kasih”[1].

Tapi, agaknya, hal tersebut berbeda seratus delapan puluh derajat dengan peranyataan yang keluar dari mulut dan tulisan para orientalis. Mereka tidak mengidentikan Islam dengan agama yang penuh cinta kasih dan kedamaian.
Sebaliknya, mereka mendekatkan Islam dengan teror, penindasan dan sifat-sifat tidak terpuji lainnya. Intinya, bagi mereka – sebagaimana yang disimpulkan oleh Samuel Huntington dalam tesisnya – islam adalah ancaman bagi peradaban dunia, khususnya barat.

Suatu benda, kalau memiliki nilai atau sifat yang baik, akan mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari siapapun. Contoh kongkrit adalah nilai atau sifat yang ada pada logam mulia, seperti emas, perak dan yang lainnya. Lalau, bagaimanakah perihal Islam itu sendiri? Apakah nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya betul-betul asli, sebagaimana yang dinyatakan oleh anshor-anshornya? Dan kenapa pula orang-orang di luar Islam memandangnya sebagai sesuatu yang terbalik? Pada bahasan berikut ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan coba diulas dan dan diberikan pandangan yang tepat.

B. Doktrin Jihad dalam Islam
Dalam agama Islam, dikenal beberapa ajaran yang sangat fundamental, seperti sholat, zakat, puasa, jihad dan yang lainnya. Dari ketiga contoh ajaran tersebut, terdapat satu yang membuat non muslim merasa terteror dan sangat ketakutan. Yaitu tentang ajaran jihad yang dideklarasikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Dan doktrin inilah yang dianggap telah menjastifikasi setiap peperangan dalam Islam selama berabad - abad.

Dalam pandangan Islam klasik, orang-orang islam diperbolehkan untuk berperang melawan pihak-pihak yang menolak proklamasi Islam (dakwah). Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Saya telah diperintahkan untuk berperang melawan semua orang, sehingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakan sholat, dan mengeluarkan zakat. Jika mereka mengerjakan semua itu, maka mereka menyelamatkan jiwa dan harta mereka, kecuali dengan hak-hak Allah. Dan, perhitungan mereka akan dilakukan oleh Allah”. (HR. Bukhori)
[2]. Dalam riwayat yang lain, berdasarkan kesaksian Abu Huraeroh, ia mendengar Nabi Muhammad bersabda: “Saya telah diperintahkan untuk memerangi ummat manusia, hingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, percaya bahwa saya adalah utusan-Nya, dan (mengimani) seluruh misi yan saya bawakan. Ketika mereka melakukan itu, maka jiwa dan kekayaan mereka mendapatkan jaminan perlindungan atas nama saya, kecuali hal-hal yang memang dibenarkan oleh hukum, dan segala sesuatunya bergantung kepada Allah”. (HR. Muslim)[3]

Kedua hadits di atas, menurut pandangan Robert Spenser, merupakan pernyataan Nabi yang dijadikan justifikasi oleh banyak kalangan Islam untuk melakukan peperangan dengan orang-orang yang tidak mau bersaksi bahwa Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai rasul-Nya. Hal ini sangat nyata dan jelas, sebagaimana yang dilakukan oleh Osama bin Laden dan kawan-kawannya – sebagai Front Islam Dunia – pada penyerangan WTC 11 September yang silam. Dimana ribuan nyawa masarakat Amerika yang tidak berdosa harus terbuang dengan sia-sia[4]. Dan dalam banyak aksinya, yang sangat sarat dengan teror tersebut, ia selalu mengatakan bahwa semuanya berdasarkan landasan teologis yang benar, sesuai ajaran Islam. Berikut ini adalah deklasrasi Osama yang berhasil direkam, dimana dia mengatakan: “seluruh kejahatan dan dosa yang dilakukan oleh Amereika adalah pernyataan perang kepada Allah, rasul-Nya dan kaum Muslimin. Dan, para ulama telah bersepakat sepanjang sejarah Islam bahwa jihad merupakan kewajiban individu jika musuh menghancurkan Negara-negara Muslim. Ini diungkapkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni. Imam Kasa’I dalam Al-Bada’I, al-Qurtubi dalam tafsirnya, dan Syekh Islam dalam kitab-kitabnya, dimana ia berkata: peperangan untuk memukul mundur musuh, dimaksudkan untuk membela kesucian dan agama, dan itu merupakan kewajiban yang disepakati oleh para ulama. Tidak ada yang lebih suci dari keyakinan, kecuali memukul mundur musuh yang menyerang agama dan jiwa”.[5]

Lebih jauh, Robert Spencer menambahkan pernyataan Osama bin Laden tersebut dengan mengemukakan pandangan dari Madzhab Syafi’I dan madzhab Fikih Sunnah yang lainnya, seperti Dzahiri yang menyetujui jihad secara ofensif. Menurut Al-Buti, “ dia menandaskan bahwa penyebab utama dari adanya jihad adalah untuk menghapuskan paganisme. Berarti, jihad akan senantiasa berlanjut sampai kapanpun, selagi masih ada orang-orang tidak beriman. Dan kenyataannya, para penganut paganisme tersebut, sejak kmunculannya yang pertama sampai sekarang, masih tersebar luas[6].

Sehingga, ia berkesimpulan bahwa Islam adalah agama yang intoleran, tidak menghargai hak asasi manusia dan menjadi momok bagi penganut agama-agama lainnya. Padahal, sebagaimana yang terdapat dalam ajaran demokrasi, keberagamaan seseorang adalah sangat asasi. Sehingga, tak seorangpun yang boleh dipaksa, ditakut-takuti, dan diperangi karena keyakinannya.

C. Tanggapan
Sebenarnya, apa yang dinyatakan oleh Robert Spencer dalam tulisannya tersebut, adalah hal yang tidak baru lagi, dan bisa dikatakan basi. Mengapa demikian? Karena semenjak abad ke 18 – 19, terhitung banyak sekali buku-buku yang dihasilkan oleh para orientalis terebut
[7]. Dimana semuanya mengatakan bahwa Islam adalah agama bid’ah, Muhammad adalah nabi palsu, Al-Qur’an sebagai karangannya dan lain-lain.

Kutipan yang dijelaskan oleh Robert Spencer pada dua riwayat hadits tersebut, sungguh tidak utuh. Dan disinilah letak subjektifitasnya. Dia tidak menjelaskan kata-kata “ kecuali hal-hal yang memang dibenarkan oleh hukum, maka segala sesuatunya bergantung pada Allah”. Dimana kalau pernyataan tersebut dikaji dan difahami lebih dalam, maka akan sampai pada pengertian, bahwa Islam menjamin keselamatan dan jiwa non Muslim dari bangsa dan agama manapun, sekalipun mereka adalah penganut paganisme.
[8] Sehingga ketakutan-ketakutan tersebut, sebetulnya tidak perlu ada. Contoh lain yang sangat nyata dalam hal ini, yang menunjukan bahwa Islam sangat menghargai dan melindungi jiwa, adalah kondisi dan stabilitas Negara Madinah yang dirintis oleh Rasulullah s.a.w. Ini adalah fakta sejarah yang gilang-gemilag, dan siapapun mengakuinya.

Agaknya, pernyataan-pernyataan yang sengaja dilemparkan oleh Robert Spencer kemuka orang-orang Islam tersebut, bisa jadi merupakan kekawatirannya yang berlebihan. Mengingat Islam adalah agama yang paling produktif didunia. Karena dalam prediksinya sendiri, pada tahun 2025, jumlah penduduk muslim di dunia akan naik sebanyak 30 persen. Jumlah yang sangat pantastis, yang tidak bisa di capai oleh agama-agama dunia manapun. Hal ini sesuai dengan judul buku yang ditulisnya: “ Islam Unveild: Disturbing Questions about the world’s fastest – growing Faith”. Dan, berkaitan dengan pernyataan-pernyataan subversivnya tersebut – seputar doktrin dan tradisi Kaum Muslim – sebetulnya sudah dibantahkan oleh tokoh-tokoh orientalis lainnya, seperti Karen Amstrong dan yang semisal dengannya. Sehingga, sebenarnya, tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan. Karena satu logam besi, cukup dipukul dengan logam besi yang lainnya.

C. Kesimpulan dan Penutup
Islam adalah agama rahmatan li al-alamin. Karenanya, kekerasan dan terror adalah musuhnya. Maka siapapun yang melakukannya, baik dari kalangan muslim sendiri ataupun yang lainnya, akan berhadapan langsung dengan Hukum Islam. Dan sebagai penutup dari tulisan ini, berikut adalah pernyataan Syeh Yusuf Qordhowy tentang Islam, yang intinya: “Islam adalah air dan madu yang sangat menyegarkan bagi siapa saja yang membutuhkan, terutama bagi yang sedang sekarat ditengah ganasnya padang pasir”. Tapi, orang-orang Barat salah menilainya. Mereka mengangap bahwa air dan madu tersebut adalah racun yang membinasakan. Betapa kasihannya mereka! Demikian, semoga bermanfaat.***


End Not


[1] Sayyid Qutub, Fi dzilal al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2004, hal.
[2] Shohih Bukhory, Vol. 1, bk. 2 no. 25
[3] Shohih Muslim, vol.1, bk.10. no. 31
[4] Robert Spencer, Islam ditelanjangi, Jakarta: PARAMADINA, 2004, hal.236
[5] Ibid, hal.263
[6] Ibid, hal.264
[7] Menurut Edward Said, terhitung dari tahun 1800 – 1950, buku-buku yang ditulis oleh para orientalis yang berusaha untuk menyerang Islam berjumlah 60.000 buku. Jumlah yang sangat mencengangkan.
[8] Yusuf Qordhowy, Halal Haram dalam Islam, Bandung: Jabal, 2007, hal. 335

Rabu, 21 Mei 2008

NILAI YANG HILANG

Syahdan, di sebuah kerajaan, tepatnya di Romawi Kuno, hiduplah seorang Pak Tani yang sangat baik hati. Karena satu alasan dan lain hal, Pak Tani tersebut bermaksud menjual satu-satunya rumah miliknya kepada tetangganya. Dengan harga yang telah disepakati bersama, resmilah rumah Pak Tani tersebut berpindah tangan, dan menjadi milik tetangganya.

Singkat cerita, pada suatu hari yang tak pernah terduga sebelumnya, pemilik rumah baru tersebut (tetangga Pak Tani) menemukan harta karun yang tersimpan di dalam tanah bekas rumah Pak Tani. Maka, dengan muka yang terbelalak, kaget tidak percaya, bergegaslah ia menemui Pak Tani yang menjual rumahnya tersebut. Sesampainya disana, tanpa basa-basi dia mengatakan kepadan Pak Tani, “ Pak Tani, dengan tidak sengaja aku telah melakukan penggalian di bekas rumahmu untuk tujuan tertentu; namun yang tidak bisa ku percaya, ku temukan di dalamnya piringan-piringan emas”. “Lantas, apa yang menjadi kepentingan tuan kemari?” sahut Pak Tani terheran-heran. “Maksud kedatanganku kemari adalah untuk memberitahukan hal tersebut, bahwa itu adalah hakmu, karena aku hanya membeli rumah dan tanahmu, bukan termasuk apa yang terkandung di dalamnya”. Petanipun menjawab, “Tidak, itu adalah hak tuan, karena akupun sama, tidak pernah tau kalau di dalamnya terdapat harta simpanan, percayalah, itu rizki tuan, yang dititipkan Tuhan melaluiku”. Demikian pernyataan dan pendirian kedua orang tersebut, kedua-duanya saling menyerahkan dan tidak ada yang mau menerima. Satu sama lain menganggap, bahwa harta simpanan tersebut bukan hak mereka. Pembeli beranggapan bahwa petanilah yang berhak memiliki harta sersebut, dan demikian pula sebaliknya.

Maka, pada keesokan harinya, keduanya bersepakat menghadap Sang Raja, guna meminta solusi terkait masalah mereka. Setelah mendengar pernyataan dan alasan kedua belah pihak – perihal harta karun tersebut – Sang Raja tertegun sejenak, jauh di dalam hatinya tersimpan kekaguman mendalam pada kedua orang tersebut. Akirnya, setelah berfikir beberapa jurus lamanya, Sang Rajapun angkat bicara, “ Begini, Pak Tani, apakah kamu memiliki seorang anak?” “ Ya, saya memiliki seorang putra yang sekarang sudah beranjak dewasa”. Jawab petani dengan jujur. “ Sekarang giliranmu!” tegur Sang Raja pada tetangga Pak Tani yang membeli rumahnya tersebut. “ Apakah kamu juga memiliki seorang anak?” “ Ya, saya juga memiliki seorang putri, yang sekarang sedang beranjak dewasa”. Demikian jawab tetanggga Pak Tani tersebut dengan tidak kalah jujurnya. Sang Rajapun melanjutkan ucapannya, “ Baik, kalau demikian adanya, keputusanku adalah, kalian harus menikahkan kedua anak kalian, dengan demikian kalian berdua akan menjadi sebuah keluarga besar, dan harta tersebut, dapat kalian pergunakan untuk kepentingan dan kelangsungan hidup anak-anak kalian”. Mendengar keputusan tersebut, Pak Tani dan tetangganya saling berpandangan. Namun keduanya faham, bahwa itulah putusan yang paling bijak. Maka pulanglah keduanya dengan hati berbunga-bunga penuh kebahagiaan. Akhirnya, sesuai permintaan Sang Raja, merekapun menikahkan kedua anaknya, dan berkat itu semua, mereka menjadi keluarga besar yang berkecukupan.***

Sahabat, cerita di atas, kemungkinan hanya sebuah dongeng fiksi belaka, yang kalau kita cari kebenaran faktanya, bisa jadi tidak akan pernah ketemu. Namun, kalau kita melihatnya dengan kedalaman hati dan kejernihan jiwa, maka akan kita dapati beberapa pelajaran yang sarat dengan nilai dan hikmah. Kita bisa berandai-andai, kalau saja para pemimpin kita sekarang (Presiden, Wakil Presiden, Anggota Dewan, Gubernur, Bupati dll) seperti Sang Raja, dan semua rakyatnya seperti Pak Tani dan tetangganya – sebagaimana cerita di atas – insya Allah, Indonesia akan menjadi baldatun thoyyibatun wa Robbun Ghofur, toto titi tentrem, gemah ripah loh jinawi. Tidak seperti sekarang. Krisis terjadi hampir di segala bidang. Pengangguran dan kemiskinan semakin bertambah-tambah. Korupsi dan ilegal loging meraja lela. Tawuran antar masa dan kejahatan semakin meningkat. Dan masih banyak lagi, yang mana semuanya menunjukan, bahwa bangsa ini masih belum sembuh dari sakit panasnya. Tapi, apapun yang terjadi, kita sebagai komponen bangsa harus tetap optimis. Karena setetes harapan akan jauh lebih baik, ketimbang putus asa atau sekedar hayal yang muluk – tanpa usaha. “Banyak jalan menuju Roma”. Walaupun kenyataannya, Roma yang sering dielu-elukan tersebut cuma satu (ibu kota Itali).

Sabtu, 17 Mei 2008

مفهوم تربية الأولاد عند لقمان الحكيم

الباب الأول
المقدمة
‌أ. خلفيات البحث
إن من المُسلَّمات التى لا حيرة فى صحتها, أن التربية من الجوانب الأساسية للحياة البشرية بل أهمها. فلذا, تسابقت فى ميادينها المترافيةِ الأطراف أقلام الكتاب والباحثين والمتخصصين فى تحديد معانيها وأغراضها
[1], آملين فى أن يحصلوا على مُدْرَك التربية الناجعة لأبناء الأمة على حسب المراد.
والتربية فى هذا العصر – عصر التقدم والتنافس – يكون ألزمَ وأليقَ لنا بالإضافة إلى سابقينا, حيث أصبحت الحياة مغالبة وصراعا, يريد كل أمة أن يفوق غيرها فى ميادين العلم والاقتصاد والقوى المسلحة والسياسة. ولا يعلو شأن الأمة إلا بالتربية الحقة يؤخذ بها النشئ منذ صغرهم
[2]. قال إبن سينا ما نصه:
" العلـم أحسن من كل شـيئ * فخذوا من كل شـيئ أحـسنه".
إذا توغّلنا بحثا فى ذلك الكلام الموجز, لفهمنا كل الفهم, أن كل شيئ له أحسنه ثم الأحسن منه. وكذلك أدوار الحياة الإنسانية, لها أولاها ثم الأولى منها. فدور الطفولة والمراهقة فى علم دراسة طبائع الأطفال يُعدّ أحسنَها وأولاها, لأنها تؤثر كثيرا فى الحياة كلها.
وإذا رجعنا إلى تاريخ الأمم, وجدنا أن الغرض من التربية هو تأهيل الطفل للقيام بما تعتبره ضروريا فى تحقيق سعادتها الدنيوية. فأمة اليونان مثلا, يعتبر بعض علمائها بأن الحرب أهمّ مصلحة دنيوية, فانحصرت التربية عندهم فى تربية الجسم وتقويته. ويعتبر بعضهم أن التربية الذوقية وغرس حب الجمال أهمّها, فكانت تربية الطفل عندهم محصورة فى تعليم الفنون الجميلة من الشعر والموسيقى والرسم والتصوير ونحوه
[3].
وأما المعاصرون, قد ينحون فى تربية أطفالهم ما ُيركِّز كثيرا على الاهتمام بالأمور المادّية التى بها تتحسن حالهم و يرغد عيشهم فيما بعد, من غير أن يراعوا ولو بقليل إلى حياتهم الروحية, مع أنها جانب من الجوانب الأساسية. فالإسلام – دينا وشريعةً – يدعو إلى التوازن بين التربية العقلية والجسمية والروحية, لأنها ملاك الذات الإنسانية التى لا يجوز أن يبخس أيّ منها أنواعا أخرى
[4], فيصبح الطفل رجـلا يؤمن بخالقه ويعرف منزلته فى الكـون, ووظيفته فى تعمير الحيـاة وفقَ منـهاج الله[5].
أضف إلى ذلك, أن التربية الروحية من أهمية بالغة فى تحديد عقيدة النشئ وأخلاقه, فيجب الاهتمام بها والتركيز عليها منذ الطفولة المبكرة, ليستطيع بها الطفل فى كبره مواجهة تحدّيات عصره, وتيارات التشكيك ضدَّ دينه وعقيدته بعقيدة ثابتة لا تتاثر بتلك المحاولات
[6].
والعالَم الإسلامى منذ فجره فى بداية الأمر إلى عصرنا هذا لا يخلو من مفاهيم التربية الروحية, لكونها شعارا من شعائر التعاليم الإسلامية الأولى. ولكن الكل قد يتوقّف على مجرد النظرية والفهم فحسب. فلما رأى الباحث أن مفهوم تربية لقمان الحكيم الذى يُجريها لابنه يجمع بين النظرية والتطبيق, فانتقاه الباحث عنوانا لهذا البحث العلمى.
وبناء على المنطلق الفكرى السابق, يود الباحث هنا أن يُقدّم مفهومه التربوى بحثا لهذه الرسالة العلمية؛ فلعلها تجدى بفائدة كبيرة.
ب. المشكلات
1. تحديد المشكلات
كما هو معلوم بالضرورة, أن لقمان من أهل العلم والحكمة, فكان معظم حياته من الأقوال والأفعال تكون مثالية لنا واسعةَ النطاق. فلذا, يودّ الباحث أن يُحدّد بحثه مقتصرا على ما يمتدّ فى سورة لقمان ما بين الآية الثانية عشرة إلى التاسعة عشرة. وذلك ليكون البحث متركّزا مبنيا على أساس الصحة.
2. تقرير المشكلات
و الجدير بالتقديم هنا – ما يكون محورَ البحث – يعنى مواعظ لقمان الحكيم لابنه المكتمنة فى سورة لقمان, حيث توجد فيها قِيَمُ التربيةِ الروحية الأساسية, ما لوتدبّرها وعضّها الإنسان بنواجده جواهرَها لاهتدى إلى سواء السبيل. فلذا, يودّ الباحث أن يُقرّرها عن طريق الأسئلة الأتية, لتكون على وضوح وبيان. وهى كما يلى:
1. ما هى النقط المهمة من مواعظ لقمان الحكيم لابنه؟
2. ما أهمية هذه النقط بالنسبة إلى التعاليم الإسلامية ؟
3. هل تعتبر مواعظ لقمان الحكيم من أحسن التربية الروحية الصالحة تطبيقها لأجيال هذا العصر؟
ج. أهداف البحث
1. الأهداف العامة
يهدف الباحث من خلال هذا البحث إلى الكشف عن النقط المهمة فى التربية الروحية عند لقمان الحكيم الملحوظة فى سورة لقمان.
2. الأهداف الخاصة
أما الأهداف الخاصة التى يريد أن يَتعَرّفَ بها الباحث هى:
1. النقط المهمة من مواعظ لقمان الحكيم نحو ابنه
2. أهمية مواعظ لقمان الحكيم بالنسبة إلى التعاليم الإسلامية
3. مدى صلاحية تربية لقمان الحكيم لأجيال هذا العصر
د. طريقة البحث
يسير الباحث للحصول على المعلومات أوالبيانات لهذا البحث باستخدام طريقة البحث المكتبى, وهى أن يقرأ الباحث المصادر المتعلقة بموضوع البحث ثم يعالجها ويحلّلها.
هـ مصادر البحث
تنقسم مصادر البحث إلى قسمين:
1. المصادر الأساسية, وهى تشمل على بعض كتب التفسير, مثل التفسير المنير فى العقيدة والشريعة والمنهاج والتفسير الميزان وبعض كتب التربية الإسلامية, مثل تربية الأولاد فى الإسلام و التربية والتعليم وبناء الأسرة المسلمة.
2. أما المصادر الثانوية فتشمل على عدة مؤلفات قديمة كانت أوجديدة, منها طريقة التربية الإسلامية والتربية الإسلامية وفلاسفها وتعليم الدين الإسلامى وغير ذلك.
و. طريقة الكتابة والتنظيم
أما طريقة الكتابة التى يستخدمها الباحث فى كتابة هذا البحث, فتعتمد على الكتاب الذى قررته الجامعة. وأخيرا, لتسهيل هذا البحث فقسّم الباحث كتابة هذه الرسالة إلى خمسة أبواب يرتبط بعضها بعضا على الترتيب.
الباب الأول : مقدمة
يحتوى هذا البحث على خلفيات البحث وتحديدها وتقريرها وأهداف البحث وطريقة البحث وطريقة الكتابة وتنظيمها.
الباب الثانى: نبذة عن حياة لقمان الحكيم
يحتوى هذا البحث على سبب إضافة اسمه بالحكيم وذكر اسم ابنه والخلاف فى كونه نبيا أو غير نبى وسبب تدفق الحكم فى أقواله وبعض أقواله الشهيرة
الباب الثالث: أهمية التربية الإسلامية
يحتوى هذا البحث على معنى التربية وتعاريفها و الفرق بين التربية والتعليم والتأديب والنظرات فى التربية عند الأمم القديمة وأغراض التربية عند المعاصرين وخصائص التربية الإسلامية ومنهجها وأغراضها ووسائلها
الباب الرابع : مدار تربية لقمان الحكيم
يحتوى هذا البحث على الصور التربية الإلهية وشمول التربية الإلهية وهى: العقيدة الإسلامية و بر الوالدين وتعليم الصلاة والحث على الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر وغرس الأدب والسلوك
الباب الخامس : الخاتمة
وهذا البحث يحتوى على الخلاصة والاقتراحات ثم مراجع الرسالة

الباب الثانى
نبذة عن حياة لقمان الحكيم
أ. نسبه ولقبه وابنه
كان لقمان من قديم الناس القليلِ الذكر سيرةً , إذ أنه يعيش فى زمان غير زماننا, حلّته فترات طويلة. فلولا القرآن يذكره فى بعض آياته – من المحتمل - لما يعرف المسلمون اسمه بتة.
أفاد البيضاوى أن اسمه الكامل هو لقمان بن باعورا من أولاد آزر, ابن أخت أيوب أو ابن خالته من سودان من النوبة
[7]. ولكن هذه السلسلة ليست وحيدة, لوجود آراء أخرى, بأنه رجل أسود اللون من شمال مصر[8]. وعلى حسب الروايات الواردة عرف العربُ لقمانين. فالأول لقمان بن عاد, رجل عظيم الهيبة, جليل القدر, ذو كلام فصيح. والثانى لقمان الشهير المُلقّب بالحكيم[9]. وهذا سبب التسرب والتعقيد فى الرواية. ولكن الكل يتّفق على أن لقمان الحكيم هو المقصود, الذى ذكره القرآن الكريم, دون الأول. وفى رواية أخرى أدرك لقمان داود عليه السلام فأخذ منه العلم.[10] و ما أوتى لقمان الحكمة بحسبٍ ولا مال ولا بسط فى الجسم ولا جمال, إلا أنه رجل قوي فى أمر الله متورع ساكت مستكين عميق النظر طويل الفكر حديد النظر وغير ذلك من الصفات المحمودة[11].
ونظرا مما سبق ذكره فى الفقرة السابقة أوكما قاله البيضاوى, تبين أن اسم لقمان فى أصل الوضع لا يُضاف – لا يوصف – بالحكيم. وإنما أضيف اسمه بذلك تشريفا له من غيره أو من قومه أو ممن بعده لتدفّق كلامه بالحكمة التى تدل على كمال عقله وفهمه. إذِ الحْكمة عند أبى الحسن موسى بن جعفر هى العقل والفهم.
[12] .والحكمة فى عرف العلماء هى استكمال النفس الإنسانية باقتباس العلوم النظرية واكتساب الملكة التامة على الأفعال الفاضلة.[13]
أما اسم ابنه الوارد فى القرآن فهو ثاران كما قاله السهيلى والطبرى والقتبى,
[14] أو باثار كما قاله أبو عبد الله[15].
ب. الخلاف بين كونه نبيا أو غير نبى
لم يرد اسم لقمان فى كلامه تعالى إلا فى سورة لقمان التى سيأتى بيانها فى الباب الرابع. ومع قلة الرواية عنه تعددت طرقها, حتى يزعم بعض الناس أنه نبى من أنبياء الله تعالى. ولكن الجمهور يتفقون على أنه ليس بنبىٍ, بل عبد من عباد الله تعالى الصالح الحكيم. كما جاء فى المجمع ما رواه النافع عن ابن عمر قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: حقا أقول لم يكن لقمان نبيا ولكن كان عبدا كثير التفكر حسن اليقين أحب الله فأحبه ومنّ عليه بالحكمة
[16].
ج. سبب تدفّق الحكم من أقواله
كان لقمان فى بداية الأمر رجلا من الرجال, لايظهر منه آمارات الذكاء وكمال النفس. وقد تغير ذلك بعد نيامه يوما, إذ جاءه نداء: يا لقمان هل لك أن يجعلك خليفة فى الأرض تحكم بين الناس بالحق؟ فأجاب الصوتَ, إن خيّرنى ربى قبلت العافية, ولم أقبل البلاء, وإن عزم علىّ فسمعا وطاعة. فإنى أعلم أنه إن فعل بى أعاننى وعصمنى. فقالت الملائكة بصوت لايراهم: لم يا لقمان؟ قال: لأن الحكم أشد المنازل وآكدها, يغشا الظلم من كل مكان. إن وفى فبالحري أن ينجو وإن أخطأ أخطأ طريق الجنة. ومن يكن فى الدنيا ذليلا وفى الأخرة شريفا خير من أن يكون فى الدنيا شريفا وفى الأخرة ذليلا. ومن تخير الدنيا على الأخرة تفته الدنيا ولا يصيب الأخرة. فعجبت الملائكة من حسن منطقه, فنام نومه فأعطى الحكمة فانتبه يتكلم بها. ثم كان يؤازر داود بحكمته فقال له: طوبى لك يا لقمان اعطيت الحكمة وصرفت عنك البلوى
[17].
د. بعض أقواله الشهيرة
إننا لم نكن على وعى بالأمثال السائرة أو المقتطفات الجارية حوالينا, بالنسبة إلى قائلها فى المرة الأولى. وهاهى ذه, الجارية حوالينا من بعض أقوال لقمان الحكيم الشهيرة:
1. الصمت حكمة وقليل فاعله. وقيل له: أى الناس شر؟ قال: الذى لا يبالى إن رآه الناس مسيئا
[18].
2. يا بنى: إن الدنيا بحر عميق قد هلك فيها عالم كثير. فاجعل سفينتك فيها الإيمان واجعل شراعها التوكل, واجعل زادك فيها تقوى الله فإن نجوت فبرحمة الله وإن هلكت فبذنوبك
[19].
3. يا بنى: صاجب مائة ولا تعاد واحدا, يا بنى إنما هو خلاقك وخلقك فخلاقك دينك وخلقك بينك وبين الناس فلا تبغضن إليهم وتعلم محاسن الأخلاق
[20].
والأخبار فى مواعظه كثيرة جدا. فاكتفى الباحث منها بذكر بعضها من الكتاب "الميزان فى التفسير" للطباطبائى والكتاب "التفسير المنير فى العقيدة والشريعة والمنهج" للوهبة الزحيلى إيثارا للاختصار وخشيةً من التطويل.

الباب الثالث
أهمية التربية الإسلامية
أ. معنى التربية وتعاريفها
التربية كلمة على صيغة المصدر, وهي مشتقّة من ربّى يربّى تربية. يقال: ربىّ الوالد ولده, إذا غدّاه وجعله يربو أى نشأ
[21]. وأما التربية فى اصطلاح علماء التربية فكثيرة الوجوه. وذلك لوسعة نطاقها وأطرافها المترافية. ولكنها على سبيل العموم يعنى كل مؤثّر فى تكوين الشخصى الجسمانى والعقلى والخلقى من حين ولادته إلى موته[22]. وهى تشمل جميع المؤثّرات, لأن الحياة تربية والتربية هى الحياة نفسها.[23]
وتوضيحا لهذا الحد, فهاهى ذه تعاريف التربية عند مفكرى التربية وعلمائها على حسب نزعاتهم وميولهم ووجهة نظرهم وفهمهم لحقيقة الحياة:
1. قال أفلاطون: "التربية هى إمداد كل من الجسم والعقل بما يمكن من الكمال والجمال".
2. وقال أرسطو: "التربية هى إعداد العقل للتعليم كما تعدّ الأرض للبذر".
3. وقال هربر سبنسر: "التربية هى تهيئ الشخص لأن يتمتع بعيشه راضية".
4. وقال روسو: "التربية التزويد بما لم يكن عندنا وقت الطفولة ولكننا فى حاجة إليه فى الكبر".
5. وقال جون استورت مل: "التربية تشمل على كل ما يفعله المرء لنفسه. أو يفعله غيره له لغرض تقرّبه من درجة الكمال"
[24].
ذلك كله, من تعاريف التربية عند بعض الفلاسفة المتباينة الأزمنة. ولكن مع ذلك لم يحدّدوا معنى التربية واضحة التحديد حتى لا تزال غامضة مبهمة تقتضى إلى التفسير والبيان. وذلك لسبب من الأسباب, منها لكثرة عوامل التربية. وقصارى الكلام, التربية هى جميع المؤثرات الخاصة والعامة التى تؤثر الإنسان منذ ولادته إلى موته بأية وسيلة من الوسائل حسنة كانت أم سيئة.
ب. الفرق بين التربية والتعليم
ومع التربية التى لم تتجلّ واضحةً حتى لا يتفق رأى واحد برأى أخر, فيحسن هنا أن يُستعرض بعض الظواهر عن التربية والتعليم, أملا فى أن يستزيد الفهم والبيان.
قد يكون الأهل فى هذا المجال, لا يفرّق كيثرا عن معنى التربية والتعليم, غير أنهم يُدخلون معنى التعليم مندرجا تحت التربية, وذلك بزعمهم أن التربية تشمل على العوامل الكثيرة المختلفة والتعليم عامل من عواملها الخاصة. وقيل أن التعليم هو مجرد إيصال المعلومات إلى ذهن التلاميذ وعقولهم بمسائل الفنون والعلوم. مع أن التربية لا تتوقّف على ذلك فحسب, بل تشمل على الأمور الآتية:
1. إنماء الجسم وتعهّده بما يحتاج إليه من الغداء الصالح والهواء النقى والتمرين البدنى ووقاية شر الأمراض التى تضعفه وتعوق نموه.
2. إنماء المدارك وإرهاف القوى العقلية سواء فى ذلك الحواس الخمس والقوى الفكرية.
3. تهذيب الأخلاق وتكوين العادة الحسنة مثل الطاعة والصدق فى القول والعمل والأمانة والنظافة والنظام فى الأعمال واحترام الغير ونحوها. وإيجاد الشعور الصادق وغرس العواطف الأدبية
[25].
وكل ذلك لا عن طريق النصيحة القولية والموعظة الحسنة فحسب, بل يحتاج إلى جميع الوسائل الناجعة فى سبيلها, مثل القدوة الصالحة ودوام المراقبة والاهتمام البالغ وغير ذلك.
ج. نظرات فى التربية عند الأمم القدماء
إذا ما كنا نرجع قليلا, ننظر إلى ما ذهب به رجال التربية من الأمم الغابرة, لوجدنا أن أغراضهم تميل كثيرا إلى تأهيل الأطفال للقيام بما يعتبروه حيوية لمستقبلهم, حتى ترغد معيشتهم. أما فى مصطلح محمد قطب, أن أغراض التربية الأرضية – ما عدا التربية الإسلامية – هو إعداد المواطن الصالح.
وتختلف الأمم بعد ذلك فى تصوّر هذا المواطن وتحديد صفاته. فها هى ذه الأغراض المختلفة عند بعض الأمم عن بعضهم لمحةً على سبيل المثال:
1. يونان
كانت أغراض بعض علماء يونان تتركز على التربية الجسمية وتقويتها,
[26] فتُربّون أطفالهم تربية عسكرية, حتى يكونوا بها جنودا أقوياء شاكسين السلاح مستعدّين للحرب, متأهبين فى كل لحظة للوثوب سواء للعدوان أو لردّه. ولكن بعضهم يعتبرون بأن التربية الذوقية وغرس حب الجمال من أهمّ المجالات فيها, فتحصرون تربية أطفالهم بالفنون الجميلة والشعر والموسيقى والرسم والتصوير وغير ذلك[27].
2. رومان
عُنىَ علماء رومان فى تربية أطفالهم بما يشابه يونان فى تربية مواطينها؛ وهو إعداد الطفل متحليا بالفنون الحربية من الخطط والاستيراتيجيا والسياسة والقوانين
[28].
3. ألمانيا
كانت ألمانيا فى عصر النازية, فقد قام بشيئ عنيف فى تربية أطفالهم. حيث يتدرب الشباب على الرياضة البدنية تدريبا شديدا, لا لخلق تقوية أجسامهم فحسب, ولكن لتعويدهم على طاعة الأوامر, والفناء فى شخصية الدولة, وأخيرا إلى هتلر القائد المتحكم صاحب السلطان
[29].
4. رهبان الهنود
إذا كانت أغراض الأمم السابقة تتركز على العمران المادى وسعادتها فردية أم جماعية, فأغراض هذه الفرقة تتركز على التربية الروحية فحسب, إذ أن أغراضم انتاجُ الناسكين المتعبدين الذين يهجرون الحياة المادية إلى ما هو أبقى وأخلد, حتى لا يصادفهم صراع الأرض.
وهذا, بعض مفاهيم التربية عند الأمم السابقة ما تشترك كلها فى شيئ واحد وهو إعداد المواطن.
د. أغراض التربية عند المعاصرين
التربية كوسيلة من وسائل الناس إلى درجة الرقى والتقدم, تغيرت – ولا تزال متغيّرةً – مناهجُها وأغراضها من عصر إلى عصر, ومن جيل إلى جيل. فكيف صورة التربية الآن من حيث الأغراض؟
إذا ما سُئل الآباء عن أغراضهم من إرسال أبنائهم الآن إلى المدارس المختلقة, لكان جوابهم يختلف بعضها عن بعض. فمنهم من يجيب ليعرفوا ما به يستطيعون كسب عيشهم وتحسين حالهم, أو بعبارة أخرى ليستردوا فى المستقبل أكثر مما أنفقوا فى الماضى. فشبهت التربية هنا مثل التجارة
[30]. ومنهم من يجيب لتلقى العلوم والمعارف ما كان الناس عليه قديما وحالهم عليه الآن[31]. ومنهم من يجمع لجواب الأول والثانى ويُضيف منها شيئا آخر وهو الأخلاق؛ إذ الأخلاق فى اعتبارهم تكملة, ولا تكمل التربية إلا بها.
و أغراض التربية عند المعاصرين تختلف بعضها عن الآخر, على حسب ما يفهمونه من تحديد معنى التربية. فللقائلين بأن التربية هى التدريب لبناء المعرفة والمهارة والطبيعة, فتتركز تربيتهم على ذلك
[32]. ومن المحتمل, نستطيع أن نقول بأن أغراض التربية عند المعاصرين الآن على مختلف الدول, لا تخلو من العناصر الثلاثة التى لا بد أن ينالها كل طالب؛ وهى القيمة(velue) والمعرفة (knowledge) والمهارة(skill)[33].



و. خصائص التربية الإسلامية ومناهجها وأغراضها ووسائلها
إذاما تكلم أحد عن خصائص الشيئ, فسو ف يتكلم – طبعا – عن مزاياه التى يمتاز بها على الأخر. فبما تمتاز التربية الإسلامية على غيرها؟
تمتاز التربية الإسلامية على غيرها بطريقتها المتفوقة ومناهجها العليا. لأن طريقة الإسلام فى التربية هى معالجة الكائن البشرى كله معالجةً شاملةً لا تترك منه شيئا ولا تغفل عن شيئ, جسمه وعقله وروحه, حياته المادية والمعنوية وكل نشاطه على الأرض. إنه يأخذ الكائن البشرى كله من غير أن يتركه ولو شيئا, ويأخذه على ماهو عليه, بفطرته التى جُبل الناس عليها
[34]. فتبرز من هذه الخصائص وعلى ضوء هذا المنهج سمات الإنسان الصالح.
أما المنهج الإسلامى, فينقسم إلى أربعة أقسام, وهى كما يأتى:
1. منهج العبادة
هذا المنهج, بالإضافة إلى غيره يقع موقعه الأول, وذلك لوسعة نطاقها. إذ العبادة هنا ليست قاصرة على على مناسك التعبد المعروفة من صلاة وصيام وزكاة وحج وما عدا ذلك. وإنما تشمل على كل شيئ يحبه الله ويرضاه. وهنا, يكون معنى العبادة عميقة جدا. أو كما قاله محمد قطب: "إنها العبودية لله وحده, والتلقى من الله وحده فى أمر الدنيا والآخرة كله...ثم هى الصلة الدائمة بالله فى هذا كله".
[35]
فالصلاة والصيام والزكاة وسائر الشعائر التعبدية, إن هى إلا مفاتيح للعبادة, أو محطة يقف عندها السائرون فى الطريق يتزودون بالزاد. ولكن الطريق كله عبادة وكل ما يقع فيه من نسك أو عمل, أو فكر أو شعور كذلك عبادة. مادامت الوجهة إلى الله
[36].
2. منهج التربية الروحية
قبل كل شيئ, يعرض هنا الباحث عن معنى الروح. ما هى الروح؟ الروح هى شيئ مبهم عامض لا حد لتحديدها. وهذا السبب الأول الذى أغرى الماديين فى العصور الحديثة أن يهملوها إهمالا ويسقطوها من الحساب
[37]. لأن فى منطلق فكرهم, أن كل ما لا تراه الحواس فغير موجود. والروح لا ترى بالحواس, فهى إذن ليس له وجود.
ولكن الإسلام يحرصها كل الحرص, حيث يضعها فى المقام الأول. لأنها – فى حقيقة الأمر – هى التى تنشئ الواقع المادى وتشكل ظروفه. هى التى تهدم وتبنى وتثبت وتمحو, بل هى الجوهر الحق
[38]. وقصارى الكلام, إن تربية الروح هى القاعدة التى يقيم عليه الإسلامُ بنائَها.
وطريقة الإسلام فى التربية الروحية هى أن يعقد صلة دائمة بينها وبين الله فى كل لحظة وكل عمل وكل فكر وكل شعور
[39]. فهذه طريقة مثالية فى تربية الإسلام, طريقة عميقة محيطة شاملة للجوانب الإنسانية كلها.
2. منهج التربية العقلية
كما علمنا بالضرورة, أن الكائن الإنسانى وحدة مترابطة متكاملة ممتزجة الأجزاء, أى جزء لا يتجزأ. لا ينفصل منه جسم عن عقل وعن روح. والإسلام يهتم كثيرا فى العقل, بل يعدّها من أكبر طاقاته وأكبر نعمه التى يمتاز بها الإنسان عن غيره.
والإسلام – دينا وشريعة – يبدأ التربية العقلية بتحديد المجال النظرى, فيصون الطاقة أن تتبدد وراء الغيبيات التى لا سبيل للعقل البشرى أن يحكم فيها. ثم بعد ذلك يأخذ فى تدريب الطاقة العقلية على طريق الاستدلال المثمر والتعرف على الحقيقة. فيتخذ إلى ذلك وسيلتين. الوسيلة الأولى هى وضع المنهج الصحيح للنظر العقلى
[40]. والوسيلة الثانية هى تدبّر نواميس الكون وتأمل ما فيها من دقة وارتباط[41].
وأما التحديد من التربية العقلية فهى ترقية العقل وتدريبه تدريبا منظما على التفكير الصحيح, حتى يستطيع أن يحسن إدراك مايحيط به المؤثرات المتنوعة والظواهر الكثيرة إدراكا صحيحا ويكون حكمه عليها سديدا
[42].
3. منهج التربية الجسمية
والمقصود فى مجال هذه التربية ليس ما يتعلق بالعضلات أو الحواس ووشاجه فحسب. وإنما المقصود هنا كذلك الطاقة الضرورية المنبثقة من الجسم, والمتمثلة فى مشاعر النفس.
فالإسلام فى التربية الجسمية والطاقة الحيوية يراعى الأمرين معا. يراعى الجسم من حيث هو جسم ثم يوفّر الطاقة الحيوية اللازمة لتحقيق أهداف الحياة, وهى أهداف تشمل كل كيان فى الإنسان
[43]. وذلك كله نجده كثيرا ملحوظا من أحايث رسول الله صلى الله عليه وسلم. مثل قوله صلى الله عليه وسلم: علموا أولا دكم السباحة والرماح. والمؤمن القوى خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف.
وأما التربية الجسمية - فى حقيقة الأمر – فهى العمل على تنمية الجسم نموا طبيعيا وتقويته وصياناته حتى يستطيع أن ينهض بالأعمال المتنوعة والتكاليف الكثيرة التى تفرضها عليه حياتها الشخصية والاجتماعية وليقاوم الأمراض الكثيرة التى تهدده
[44].
وهكذا كل مايصدر عن الفطرة, وعلى ضوء هذ المنهج الإسلامى, سوف ينشأ مجتمع متوازن وإنسان متوازن, توازنت طاقاته, وعملت روحه وعقله وجسمه. وبالجملة, أن منهج التربية الإسلامية منهج متميز متفرد فى وسائله وفى أهدافه بشكل ظاهر يلفت النظر, ويدعو إلى التفكر فى مصدر هذه العقيدة التى تفردت على مدار التاريخ
[45].
وأما أغراضها اختصارا, تكوين الإنسان الذى يؤمن بخالقه ويعرف منزلته فى الكون ويعرف كيف يتعامل معها بطريقة تفيد الحياة والأحياء, حتى يسعد فى الدارين.
وأما الوسائل المؤثرة التى اعترفها الإسلام للتربية فكثيرة, منها:
1. التربية بالقدوة
القدوة فى التربية من أنجع الوسائل المؤثّرة فى إعداد الولد خلقيا, وتكوينه نفسيا واجتماعيا. وذلك لأن المربى أو الأستاذ هو المثل الأعلى فى نظره. فالأسوة الصالحة سوف يقلدها سلوكيا ويحاكيها خلقيا من حيث يشعر أو لا يشعر. بل تنطبع فى نفسه وإحساسه صورته القولية والفعلية والحسية والمعنوية
[46].
ومن هنا كانت القدوة عاملا كبيرا فى صلاح الولد وفساده. فإن كان المربى صادقا أمينا كريما عفيفا, نشأ الولد على الصدق والأمانة والخلق والكرم والشجاعة والعفة. وإن كان المربى كاذبا خائنا بخيلا جبانا, نشأ الولد على الكذب والخيانة والجبن والبخبل
[47].
ولقد علم الله أن الرسول ينبغى أن يتصف بأعلى الكمالات النفسية والخلقية والعقلية, حتى يأخذ الناس عنه, ويقتدوا به, ويتعلموا منه, ويستجيبو إليه. لذلك بعث الله محمدا ليكون للمسلمين على مر الأيام والدهور قدوة صالحة
[48]. لأن القدوة هى أفعال الوسائل جميعا وأقربها إلى النجاح[49]. كما قاله تعالى فى محكم تنزيله: (لقد كان لكم فى رسول الله أسوة حسنة)[50]. وقال أيضا: (يأيها النبى إنا أرسلناك شاهدا ومبشرا ونذيرا. وداعيا إلى الله بإذنه وسراجا منيرا)[51].
2. التربية بالعادة
وكذالك, كما علمنا بالضرورة, أن الولد مفطور منذ خلقته على التوحيد الخالص والدين القيم والإيمان بالله
[52]. كما قاله النبى صلى الله عليه وسلم: كل مولود يولد على الفطرة. أى يولد على فطرة دين الله سبحانه وتعالى. ومن هنا يأتى دور التعويد والتلقين والتأديب حيويا فى نشأة الطفل وترعرُعِه على التوحيد الخالص والمكارم الخلقية والفضائل النفسية.
والحجة على ذلك, مما يدل على أهمية التعويد والتلقين والتأديب فى التربية, يعنى لوكان للولد عامل من العوامل التربية الإسلامية الفاضلة, فينشأ على الإيمان والأخلاق الكريمة. ولكن ما يُعاكسه, يعنى لو كان له عامل من العوامل التربية الخبيثة, لينشأ على كفر والأخلاق المذمومة. فلذلك, كان النبى صلى الله عليه وسلم يحثّ على الآباء بتعويد الصغار بالصلاة فى السبع, لتتأثر فى نفوسهم فى المستقبل, إذا بلغوا سن الرشد.
3. التربية بالموعظة
وكذلك من أهم الوسائل التربية الناجعة المؤثّرة فى تكوين الولد إيمانا, وإعداده خلقيا ونفسا واجتماعيا وهو التربية بالموعظة, لما لها أثر كبير فى تبصير الولد حقائق الأشياء ودفعه إلى معالى الأمور, وتحليته بمكارم الأخلاق وغيرذلك
[53]. والموعظة المؤثرة تفتح طريقها إلى النفس مباشرة عن طريق الوجدان[54].
والتوجيهات القرآنية لما لها من التربية الفاضلة, كان معظمها باستخدام هذه الوسيلة أى عن طريقها. وكذلك ما يكون محور البحث هنا, من تربية لقمان الحكيم لابنه, عن طريق هذه الوسيلة.
ووسائل التربية غير هذه الوسائل السابقة ذكرها لا تزال كثيرة, ولكن اكتفى الباحث بذكر هذه الوسائل, بحسبٍ على أنها من أنجعها وأفعلها.
الباب الرابع
مدار تربية لقمان الحكيم لابنه
أ. صور التربية الإلهية
كان لقمان الحكيم أبا من الآباء الذين يهتمون تجاهَ من لهم فى أعناقهم حق التعليم والتوجيه والتربية, فعُنى بولده اعتناء كبيرا. وهذا الاعتناء البالغ حفظه القرآن الكريم فى بعض آياته فى سورة لقمان, تكون توجيهة وتربية روحية ناجعة لكل عصر من العصور ولكل جيل من الأجيال, لما لها من القيم والمبادئ الإسلامية الضرورية لكل ولد من الأولاد. وتلك التوجيهات والتربية تمتد ما بين الآية الثانية عشرة إلى التاسعة عشرة. وهى كما يلى قوله سبحانه وتعالى:
12.(ولقد آتينا لقمان الحكمة أن اشكر لله ومن يشكر فإنما يشكر لنفسه, ومن كفر فإن الله غنى حميد).
13.(وإذقال لقمان لابنه وهو يعظه يبنى لا تشرك بالله إن الشرك لظلم عظيم).
14.(ووصينا الإنسان بوالديه حملته أمه وهنا على وهن وفصاله فى عامين أن اشكر لى ولوالديك وإلى المصير).
15.(وإن جاهداك على أن تشرك بى ما ليس لك به علم فلا تطعهما, وصاحبهما فى الدنيا معروفا, واتبع سبيل من أناب إلى ثم إلى مرجعكم فأنبئكم بما كنتم تعملون).
16.(يابنى إنك مثقال حبة من خردل فتكن فى صخرة أو فى السموات أو فى الأرض يأت بها الله, إنا لله لطيف خبير).
17.(يبنى أقم الصلاة وأمر بالمعروف وانه عن المنكر واصبر على ما أصابك, إن ذلك من عزم الأمور).
18.(ولا تصعر خدك للناس ولا تمش فى الأض مرحا, إن الله لا يحب كل مختال فخور).
19.(واقصد فى مشيك واغضض من صوتك, إن أنكر الأصوات لصوت الحمير).


ب. شمول التربية الإلهية
وأما القيم أوالمبادئ الإسلامية التى تضمنها هذه الآيات الكريمة كالتربية لابنه, وهى كما يلى:
أ. العقيدة الإسلامية
بعد أن أمر الله سبحانه وتعالى لقمان بالشكر على ما أعطاه من الحكمة ونعمه الكثيرة فى الأية الثانية عشرة, بدأ لقمان الحكيم فيما بعده فى الآية الثالثة عشرة يقول لابنه – عن طريق الموعظة – أن يجتنب الشرك
[55]. إذ أنه أكبر الكبائر التى تبطل الإيمان. ومن أشرك فقد كفر, ومن كفر فقد خرج عن توحيد الله سبحانه وتعالى. ومن خرج عن توحيد الله وجبت له النار. حيث قال مؤكدا لابنه (إن الشرك لظلم عظيم).
ولما نهى لقمان عن الشرك الذى هو أشد الضرر, فطبعا – من المفهوم المخالف – أمر ابنه بلزوم التوحيد
[56] ومحافظته طول حياته. لأنه أول دعائم الإسلام. فهذا, جوهر التربية الإسلامية الذى علمه لقمان الحكيم لابنه.[57]
ب. بر الوالدين
وفى الأية (ووصينا الإنسان... إلى آخرها), أمر ربانى يوجب الإنسان أن يبر إلى والديه ويكرمهما, إذ أنهما سبب الوجود فى الدنيا, فاستحقا من ذلك نهاية الإكرام. بل وإن ألحا على الشرك ما ليس له بهما العلم, يلزم على الولد أن يصاحبهما بالمعروف, وأن يعاشرهما متعارفة غير منكرة من رعاية حالهما بالرفق واللين. ولكن هذه المصاحبة تكون على الأمور الدنياوية فحسب, لا على أمور الدين الذى هو سبيل الله
[58].
و وقع الاعتراض فى تلك الآية, بين أنها من كلام لقمان أو مجرد آية من الآيات
[59]. فأصحهما عند الباحث تتعلق ببعض الروايات والجهات النظرية؛ أى من أى جهة ينظرها المرئ. وأما سبب تضمين الباحث هذه النقطةَ من كلام لقمان, لكونها متوسطة بين الآيات التى هى من كلامه تجاه ابنه.
ج. الصلاة
وفى الآية السابعة عشرة علّم لقمان لابنه جوهرة التربية الإسلامية الثانية, وهى الصلاة
[60]. إذ أنها تقع الموقع الأعلى على سائر العبادات. ولها فى الإسلام منزلة لا تعادلها أية عبادة أخرى, فهى عماد الدين الذى لا يقوم إلا به.[61]حيث قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: رأس الأمر الإسلام, وعموده الصلاة, وذروة سنامه الجهاد فى سبيل الله. (الترمذى).
وهى أول ما أوجبه الله سبحانه وتعالى من العبادات, تولى إيجابها بمخاطبة رسوله ليلة المعراج من غير الوسيلة. قال أنس: فرضت الصلاة على النبى ليلة أسرى به خمسين, ثم نقصت, حتى جعلت خمسا, ثم نودى: يامحمد, إنه لا يبدل القول لدى, وإن لك بهذه الخمس خمسين. (رواه أحمد)
[62]
أضف إلى ذلك, أن الصلاة صلة بين العبد والرب, يناجى الله ويناجيه الله. كما جاء فى الحديث عن النبى صلى الله عليه وسلم أن الله جل وعلا قال: قسمت الصلاة بينى وبين عبدى نصفين, ولعبدى ما سأل
[63]... وهى تمثل المعراج الروحى للمؤمن حيث تعرج به روحه كلما قام مصليّا, منتقلة به من عالم المادّة إلى عالم السموّ والصفاء, والطهر والنقاء. وهى الفاصل بين الكفر والإيمان, وتنزل منزلة الرأس من الجسد. فكأنما لا حياة لمن لا رأس له, فلا دين لمن لا صلاة له.[64]
ومن ذلك كله, تتجلّت أهمية الصلاة ومكانها فى الشريعة الإسلامية. فلا حيرة إذا كان لقمان الحكيم يجعلها من أساس توجيهاته الثانية لابنه بعد العقيدة.
د. الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر
بعد أن أمر لقمان الحكيم لابنه بإقامة الصلاة – كاملة بحدودها وأوقاتها – التى هى دليل الإيمان واليقين, ووسيلة القربى إلى الله وتحقيق رضوانه, أمره بالأمر بالمعروف, أى أمر النفس بما هو معروف شرعا وعقلا, كمكارم الأخلاق, ومحاسن الأفعال. وكذلك أمره بالنهى عن المنكر, أى منع النفس من المعاصى والمنكرات المحرمة شرعا وعقلا, التى تغضب الله, وتوجب عذاب جهنم.
[65]
و. الصبر والثبات على المصيبة
وبعد ذلك, علّمه لقمان الحكيم – بعد التعليم بلزوم الصلاة والأمر بالمعروف والنهى عن المنكر – الصبرَ. لأن الصبر مهم جدا فى جميع الحالات. ولا يكون الصبر فى تحمل البلية فحسب. وإنما كذلك فى اللزوم على الأوامر الإلهية, مثل الصلاة والأمر بالمعروف والنهى عن المنكر وغير ذلك.
[66]
فلذلك, يكون الصبر على أقسام. صبر على ما هو كسب للعبد, وصبر على ما ليس بكسب له. فالصبر على المكتسب على قسمين: صبر على ما أمر الله تعالى به, وصبر على مانهى عنه. وأما الصبر على ما ليس بمكتسب للعبد, صبر على مقاساة ما يتصل به من حكم الله فيما يناله فيه مشقة.
[67]

ﻫ. الأخلاق
أما التوجيهات الأخلاقية ما قام به لقمان الحكيم تكون فى الآيتين الثامنة عشرة والتاسعة عشرة. وهى كما يلى على الترتيب:
1. عدم تصعير الخذ للناس
كان لقمان الحكيم يقول لابنه على أن لا يصعر خده للناس, أى لا يعرض بوجهه عن الناس إذا كلموه تكبرا واحتقارا. بل لا بد أن يكون متواضعا سهلا لينا منبسط الوجه وغير ذلك من كمالات الصفات.
[68]
2. عدم المشى بالمرح
والمراد فى عدم المشى بالمراح يعنى أن لا يسير فى الأرض مختالا بطرا متبخترا, جبارا عنيدا. لأن تلك المشية يبغضها الله ويكرهه.
[69]
3. الحث على الاقتصاد فى المشى
أما المراد بالاقتصاد فى المشى يعنى التوسط والعدل, ليس بالبطئ المتثبط الذى يظهر الضعف, ولا بالسرعة المفرط, الذى يثب وثوب الشيطان. قال رسول الله صلى الله عليو وسلم: سرعة المشى تذهب بهاء المؤمن.
[70]
4. الحث على الغض فى الصوت
والآخر من توجيهاته الأخلاقية تجاه ابنه, يعنى ألا يرفع الصوت فيما لا فائدة فيه, وأن يخفضه. لأن شدة الصوت تؤذى آلة السمع وتدل على الغرور والاعتداد بالنفس وعدو الاكتراث بالغير.
[71]
وفيه دلالة على ذم رفع الصوت من غير حاجة. لأنه مشبه بصوت الحمير, والحمير أنكر الأصوات التى لا بد أن أن يبتعدعنه الناس. وقد ورد فى السنة ما يدل على التنفير منه, قال: إذا سمعتم صياح الديكة, فاسألوالله من فضله, وإذا سمعتم نهيق الحمير, فتعوذوا بالله الشيطان, فإنها رأت شيطانا. (رواه الجماعة)
[72]
وإنْ من إتيان هذه التوجيهات الأخلاقية مختتمةً, ليس إلا لإتمام الدراسات الإلهية العقائدية والشرائعية. إذ أن الأخلاق التى تصدر من الشخص ُيمثّل مقدار ما فى صميم قلبه وعقله من الإيمان وغير ذلك. فعلّمه ووعظه ذلك اتماما, وليكون بعد ذلك على مكارم الأخلاق. وهذه اسمى المثل فى التربية الإسلامية.
[73]
الباب الخامس
الخاتمة
أ. الخلاصة
بعد أن أقام الباحث بالدراسة التحليلية عن هذا المبحث ما تحت العنوان: "مفهوم تربية الأطفال عند لقمان الحكيم", وصل آخيرا إلى المستنتجات النهائية, وهى كما يأتى:
1. أن النقط المهمة تجاه ابنه هى: غرس التوحيد الذى هو أول مبدئ الإسلام, وتربية الصلاة, والإلزام على الأمر بالمعروف والنهى عن المنكر والصبر والثبات فى تحمل البلية وفتن الحياة, وتكوين الأخلاق الفاضلة.
2. ما ألقى به لقمان الحكيم من مواعظه تجاه ابنه يقع الموقع الأولوى فى التعاليم الإسلامية, حيث توجد فيها القيم المثالية فى التربية الروحية السليمة, إذ أنها تضمن الجوانب الشرائعية الكافية من العقائد الإسلامية والعبادات والأخلاق الفاضلة.
3. تعتبر مواعظ لقمان الحكيم من أحسن التربية الإلهية التى تصلح تطبيقها لأجيال هذا العصر.
ب. الاقتراحات والنصائح
وأما الاقتراحات والنصائح التى تأثّر بها الباحث, والتى يريد أن يقدمها إلى جميع من لديه لوازم التعليم والتربية – من خلال هذا البحث المُهمّ – فهى:
1. التربية الروحية من أهمية بالغة فى تحديد عقائد الأطفال المسلمة. فلذلك, لابد أن يكون الاهتمام والتركيز عليها منذ الطفولة المبكرة, لتترسخ فى صميم قلوبهم. ولما كان الآباء يقوم بها إباّن صباهم, فقد غرس فى روحهم القاعدة الأساسية فى التربية.
2. المواعظ وسيلة من الوسائل التربية الناجعة المثمرة فعلى الآباء أن يقوم بذلك.
وكان الباحث على يقين, بأن هذا البحث لم يكن كاملا, فربما سوف يأتى من يُكمّل ذلك بما هو أحسن من طلاب الجامعة الآخرين.
فهاهى الرسالة البسيطة التى لا تخلو من الخطأ والنقصان, إذ الكمال لله وحده. فقال الشاعر:
وإن تجد عيبـا فسد الخللا * فجـلّ من لا عيب فيه وعلـى
واختتاما لهذه الرسالة العلمية, أُقدَم هنا بديع كلام العلامة ابن القيم رحمه الله تعالى :
" فيا أيها الناظر فيه, لك غنمه, وعلى مؤلفه غرمه, ولك صفوه, وعليه كدره, وهذه بضاعته المزجاة تعرض عليك, وبنات أفكاره تُزفّ إليك, فإن صادفت كفئا كريما, لم تعدم منه إمساكا بمعروف, أوتسريحا باحسان, وإن كان غيره, فالله المستعان, وعليه التكلان, وقد رضى من مهرها بدعوة خالصة إن وافقت قبولا وإحسانا, وبرد جميل إن كان حظها احتقارا, واستهجانا, والمنصف يهب خطأ المخطئ لإصابته, وسيئاته لحسناته؛ فهذه سنة الله فى عباده جزاء وثوابا, ومن ذالذى يكون قوله كله سديدا وعمله كله صوابا؟ وهل ذلك إلا المعصوم الذى لا ينطق عن الهوى, ونطقه وحى يوحى؟"
[74]
مراجع البحث
الأبراشى, محمد عطية. التربية الإسلامية وفلاسفها. مصر: عيسى البانى الحلبى ,1975
بروى, عبد العظيم. علم الدين. دون اسم المدينة والمطبعة, 2002
الزحيلى, وهبة. التفسير المنير فى العقيدة والشريعة والمنهاج. بيروت: دارا لفكر المعاصر, 1998
زين العابدين, سهيلة. بناء الأسرة المسلمة. جدة: الدار السعودية. دون السنة
زينو, جميل, محمد. رسالات التوجيهات الإسلامية. دون اسم المدينة والمطبعة والسنة. المجلد الثانى.
سابق, سيد. فقه السنة. مدينة: دار الحديث, 2004
السديسى, عبد العزيز, عبد الرحمن. كوكبة الخطب المنيفة من منبر الكعبة المشرفة. مكة المكرمة: مكتبة إمام الدعوة العلمية, 2002
شحاتة, حسن. تعليم الدين الإسلامى بين النظرية والتطبيق. قاهرة: دار العربية للكتاب, 1993
الطباطبائى, محمد حسين, العلامة السيد. الميزان فى تفسير القرآن. بيروت: مؤسسة الأعلمى للمطبوعات, 1991.المجلد السادس عشر
القشيرى, بن هوزان أبى القاسم, عبد الكريم. الرسالة القشيرية فى علم التصوف. دمشق: مكتبة الأسد, دون السنة
قطب, محمد. منهج التربية الإسلامية. بيروت: دار الشروق,1993.
معلوف, لويس. المنجد فى اللغة والأعلام. بيروت: دار المشرق,
ناصح علوان, عبد الله. تربية الأولاد فى الإسلام. غورية: دار السلام, 1996
الهاشمى, عابد التوفيق. طرق تدريس التربية الإسلامية. بيروت: مؤسسة الرسالة, 1993
يونوس, محمود. التربية والتعليم. دار السلام: دون السنة واسم المدينة
محمد فؤاد عبد الباقى, اللؤلؤ والمرجان فيما اتفق عليه الشيخان البخارى والمسلم. دار الحديث: قاهرة, 2003


Al-Syaebany, Muhammad Al-Toumy, Omar, Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1979

Azizy, Qodri, A. Pendidikan Untuk Membangun Etika Sosial. Jakarta: AnekaIlmu, 2002

Syihab, M. Quresh. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002

Tafsir, Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam: Rosda Karya, 2002







[1] محمود يونس ومحمد قاسح بكر, التربية والتعليم (دون اسم المدينة: دار السلام, دون السنة), ص. 3
[2] . نفس المرجع. ص. 3
[3]. نفس المرجع. ص. 14
[4] . حسن شحاتة, تعليم الدين الإسلامى بين النظرية والتطبيق (قاهرة: دار العربية للكتاب), 1993. ص. 12
[5] . نفس المرجع. ص. 24
[6] . سليمان زين العابدين, بناء الأسرة المسلمة جدة: دار السعودية, دون السنة. ص. 172
[7] وهبة زحيلى, التفسير المنير فى العقيدة ولاشريعة والمنهج (بيروت: دارا لفكر المعاصر, 1998), ص. 143 .
[8] 125.ص Qures Syihab. Tafsir Al-Misba (Jakarta: Lentera Hati, 2002)
. 125[9] ص . نفس المرجع. Qures Syihab
[10] وهبة زحيلى. المرجع السابق. ص. 143
[11] محمد حسين الطباطبائى. الميزان فى تفسير القرآن )بيروت: مؤسسة الأعلمى للمطبوعات, 1991.المجلد السادس عشر(, ص. 227
[12] نفس المرجع. ص. 226.
[13] وهبة زحيلى. المرجع السابق. ص. 143
[14] وهبة زحيلى. المرجع السابق. ص. 145
[15] محمد حسين الطباطبائى. المرجع السابق. ص. 228
[16]محمد حسين الطباطبائى. المرجع السابق. ص. 226
[17]محمد حسين الطباطبائى. المرجع السابق. ص. 227

[18] وهبة زحيلى. المرجع السابق. ص. 143
[19] محمد حسين الطباطبائى. المرجع السابق. ص. 229
[20] محمد حسين الطباطبائى. المرجع السابق. ص. 230
[21]. لويس معلوف, المنجد فى اللغة والأعلام (بيروت: دار المشرق, 2000 ), ص. 247
[22]محمود يونس, ومحمد قاسم بكر. المرجع السابق. الجزء الأول. ص. 7
[23] . 5ص.Ahmad Tafsir .Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: Rosda Karya, 2002.
[24] محمود يونس, ومحمد قاسم بكر. المرجع السابق. الجزء الأول. ص. 8- 10
[25] محمود يونس ومحمد قاسم بكر. المرجع السابق. ص. 3 - 4
[26] محمود يونس ومحمد قاسم بكر. المرجع السابق. ص. 13
[27] محمود يونس ومحمد قاسم بكر. المرجع السابق. ص. 14
[28] محمود يونس ومحمد قاسم بكر. المرجع السابق. ص. 14
[29] محمد قطب. المرجع السابق. ص. 11
[30] محمود يونس ومحمد قاسم بكر. المرجع السابق. ص. 15
[31] محمود يونس ومحمد قاسم بكر. المرجع السابق. ص. 17
[32] A. Qodry Azizy. Pendidikan Untuk Membangun Etika sosial. (Jakarta: Aneka Ilmu, 2003) H. 18
َ. [33] 19. ص. نفس المرجع .Qodry Azizy
[34] محمد قطب. منهج التربية الإسلامية (قاهرة: دار الشروق, 1993), ص. 18
[35] نفس المرجع. ص. 34
[36] نفس المرجع. ص. 34
[37] نفس المرجع. ص. 38
[38] نفس المرجع. ص. 74
[39] نفس المرجع. ص. 42
[40] و الدليل على ذلك توجد كثيرا فى بعض السور. مثل فى سورة الزخرف (23) وفى سورة البقرة (170) وفى سورة النجم (23) وغير ذلك.
[41] محمد قطب. المرجع السابق. ص. 77
[42] محمد يونس ومجمد قاسم بكر. المرجع السابق. الجزء الأول أ. ص. 28. وكذلك, تبعثر الأيات الدالة على ذلك. مثل ما يوجد فى سورة الأنعام ( 73) وفى سورة إبراهيم (19) وفى سورة الحجر (85) وغير ذلك.
[43] محمد قطب. المرجع السابق. ص. 105
[44] محمود يونس ومحمد قاسم بكر. المرجع السابق. 30
[45] محمد قطب. المرجع السابق. ص. 12
[46] عبد الله ناسح علوان. تربيةالأولاد فى الإسلام (غوروية: دارالسلام, 1996. الجزء الثانى), ص. 476
[47] نفس المرجع . ص. 476
[48] نفس المرجع . ص. 476 - 477
[49] محمد قطب. المرجع السابقة. ص. 180
[50] سورة الأحزاب (21)
[51] سورة الأحزاب (45 - 46)
[52] عبد الله ناسح علوان. المرجع السابق. ص. 498
[53] عبد الله ناسح علوان. المرجع السابق. ص. 511
[54] محمد قطب. المرجع السابق. ص. 187
[55] الشرك هو أن يصرف الإنسان أى عبادة من العبادات لغير الله كائنا من كان ملكا مقرّبا أو نبيا مرسلا, أو وليا صالحا, أو عالما عابدا أو زعيما, أوحجرا أشجرا أودرهما أو دينارا أو هوى متبعا. محمد جميل زينو. رسالات التوجيهات الإسلامية (دون اسم المدينة والم طبعة والسنة. المجلد الثانى), ص. 152
[56] التوحيد ثلاثة أقسام: توحيد الألوهية, وتوحيد الربوبية وتوحيد الاسماء والصفات. عبد العظيم بن بريوى. علم الدين من حديث جبريل (مصر. دون اسم المطبعة, 2002), ص. 13
[57] أحمد شحاتة. المرجع السابق. ص. 21
[58] محمد حسين الطباطبائى. المرجع السابق. ص. 221 - 222
[59] محمد حسين الطباطبائى. المرجع السابق. ص. 220 - 221
[60] الصلاة عبادة تتضمن أقوالا وأفعالا مخصوصة, مفتتحة بالتكبير ومختتمة بالتسليم. سيد سابق. فقه السنة. (مدينة: دار الحديث, 2004), ص. 65
[61] نفس المرجع. ص. 65
[62] نفس المرجع. ص. 65
[63] عبد العظيم بن بروى. المرجع السابق. ص. 22
[64] عبد الرحمن عبد العزيز السديس. كوكبة الخطب المنيفة من منبر الكعبة المشرفة (مكة المكرمة: مكتبة إمام الدعوة العلمية, 2002), ص. 186
[65] وهبة زحيلى. المرجع السابق. ص.149 - 150
[66] وهبة زحيلى. المرجع السابق. ص. 150
[67] أبى القاسم عبد الكريم بن هوزان القشيرى. الرسالة القشيرية فى علم التصوف(دمشق: مكتبة الأسد, دون السنة), ص. 294
[68] وهبة زحيلى . المرجع السابق. ص. 150
[69] وهبة زحيلى. المرجع السابق. ص. 150
[70] وهبة زحيلى. المرجع السابق. ص. 151
[71] وهبة زحيلى. المرجع السابق. ص. 151
[72] وهبة زحيلى. المرجع السابق. ص. 152
[73] محمد عطية الأبراشى. التربية الإسلامية وفلا سفها (مصر: عيسى ألبانى الحلبى, 1975), ص. 110
[74] عبد الرحمن بن عبد العزيز السديس. المرجع السابق. ص.32