Minggu, 18 Oktober 2009

Fantasi Mudik

Mudik, secara sederhana dapat diartikan dengan pulang kampung rame-rame. Lebih tepatnya, sebagaimana yang tertulis dalam Ensiklopedi Wikipedia, yaitu kegiatan perantau atau pekerja migran yang ingin kembali ke kampung halamannya, tempat dimana ia dilahirkan. Di Indonesia, kegiatan tersebut identik dengan tradisi tahunan menjelang hari-hari besar keagamaan, seperti perayaan lebaran dalam Islam atau natal dalam Kristen. Tradisi ini, dalam sejaran Indonesia sudah dikenal sejak berabad-abad lamanya, jauh sebelum Kerajaan Majapahit (1293–1500) berdiri. Dan dalam beberapa literatur dijelaskan, bahwa mudik pada awalnya merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang banyak dipengaruhi oleh agama Hindu.

“Lain dulu lain sekarang”, itulah bunyi ungkapan yang mungkin sesuai untuk menilai beberapa tradisi atau budaya Indonesia yang semakin hari semakin terkikis, tergerus oleh perputaran zaman. Tapi tidak untuk tradisi mudik. Buktinya, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, animo masyarakt untuk mudik setiap tahunnya semakin meningkat. Fenomena ini dapat dilihat dari melonjaknya permintaan jasa layanan transportasi, baik darat, laut, maupun udara. Kenyataan ini, mengakibatkan para pemudik sering kali harus menerima konsekwensi kenaikan tarif yang tidak masuk akal atau layanan yang tidak memuaskan. Belum lagi resiko kecelakaan yang mnegintai setiap saat, baik karena padatnya arus kendaraan, kondisi jalan yang buruk, atau ulah pengendara yang ugal-ugalan. Namun, demi untuk “kumpul” bersama orang-orang tercinta, kenyataan tersebut tidak lagi dianggap sebagai kendala. Bahkan diantara para pemudik, ada yang sengaja memanfaatkan moment ini sebagai “safari tahunan”, dimana kondisi dan hiruk pikuk selama perjalanan dijadikan sebagai pengalaman mengesankan. Hal ini (animo mudik) sangat sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Mentri Perhubungan, Jusman Syafii Jamal, bahwa pemudik tahun ini diprediksi mencapai 15,8 juta orang, atau naik sekitar 6,14 persen dibanding tahun sebelumnya. Ternyata, jumlah tersebut jika dibandingkan dengan penduduk Jabodetabek sekalipun, masih jauh lebih besar, dua kali lipatnya. Maka dapat dibanayangkan, sekiranya pemudik hanya berasal dari penduduk Jabodetabek saja, pastilah kawasan dengan luas 6.850 km2 tersebut akan menjadi kota mati, sepi, tak berpenghuni.

Rekognisi dan Nostalgia

Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politiken) memiliki gejala psikis yang subjektif, dan sering disebut dengan perasaan sosial (Sumadi Surya Bata, 2004). Perasaan tersebut, memiliki hubungan yang kuat antara individu dengan sesamanya yang diwujudkan dalam pergaulan, saling tolong menolong, rasa setia kawan, kekeluargaan, persaudaraan dan yang lainnya. Karena itu, seorang yang sudah terlanjur merantau jauh atau tinggal di negeri orang, pada saat-saat tertentu akan mendapati perasaan sosialnya menggeliat kuat dalam jiwanya – merindukan kampung halaman. Terutama ketika dirinya memngingat atau mengenang kembali (recall) orang tua, saudara, suasana rumah, kawan-kawan, pemandangan desa dan yang lainnya. Pendek kata, semua pesan dan kesan yang selama ini sudah tercamkan dalam dirinya, pada saat-saat tertentu – semisal lebaran – akan tereproduksi kembali, bahkan menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Sehingga, munculah kerinduan yang tak tertahankan terhadap kampung halamannya (home sick).

Dorongan Agama dan Tradisi

Lebaran, kendatipun disebut sebagai hari raya kecil (The Smaller Eid), namun memiliki makna yang cukup dalam pada diri setiap muslim; khususnya di Indonesi dan beberapa negara Asia yang memiliki kedekatan budaya. Karena itu, paling tidak, setiap pemudik sudah memprediksi beberapa hal yang akan dilakukan setibanya di kampung halaman – baik yang orientasinya keagamaan atau tradisi. Hal-hal tersebut adalah: Pertama, melaksanakan Sholat Ied bersama keluarga di kampung halaman. Kedua, silaturrahim, sebagai usaha untuk memperbaiki atau menyambung kembali tali persaudaraan yang selama ini telah terbina. Dan sampai hari ini, meskipun alat komunikasi sudah sedemikian canggih, seperti layanan SMS, telpon, email dan yang lainnya, belum mampu menggantikan arti mudik yang sebenarnya. Karena itu, satu-satunya cara yang dinggap paling tepat untuk melakukan hal tersebut adalah dengan “soan” secara langsung terhadap orang-orang yang dimaksud. Ketiga, melakukan ziarah kubur untuk mendoakan dan mengenang orang-orang tercinta yang telah tiada. Dan keempat, untuk menikmati hidangan khas daerah masing-masing yang selama ini mungkin sudah jarang dijumpai, atau bahkan tidak pernah lagi.

Semua hal diatas – baik yang muncul secara alami sebagai gejala psikis atau karena alasan keagamaan – adalah faktor utama yang akan membuat seseorang mereproduksi semua kenangan yang ada dan akhirnya berfantasi. Dan ketika seseorang berfantasi, maka ia akan mampu menempatkan diri dalam kepribadian orang lain, mampu menyelami sifat-sifat kemanusiaan, dam memungkinkan untuk melepaskan dirinya dari kesukaran yang dihadapi. Karena itu, tak mengherankan kalau setiap pemudik memiliki niat dan motivasi yang begitu besar untuk pulang ke kampung halamannya, meskipun dengan resiko yang cukup berat. Semua itu tercipta karena kekuatan fantasinya, sebuah bayangan yang bukan saja melukiskan dunia riil, tapi juga alam imajiner.

Realitas Puasa

Puasa sebagai bagian dari budaya, baik yang bersumber dari agama atau kepercayaan tertentu, merupakan warisan turun-temurun. Manusia telah mengenal ritual ini – dengan aneka cara dan tujuannya – sejak zaman pra-sejarah. Karena itu, dengan meminjam istilah Herskovits, tidak salah kalau puasa disebut sebagai superorganic.

Sampai hari ini, terhitung sejak 22 Agustus yang lalu, ummat Islam di seluruh dunia masih dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan 1430 H. Mereka tidak makan, minum, berhubungan sex, dan melakukan hal-hal terlarang lainnya, dari sejak matahari terbit hingga terbenam.

Meskipun demikian, penulis tidak bermaksud mengangkat tema puasa secara sepihak, berdasarkan kepercayaan atau agama tertentu. Tapi, berusaha menggunakan pendekatan sejarah dan universalitas puasa itu sendiri.

Puasa dari Masa ke Masa

Membincang masalah puasa, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sejarah manusia itu sendiri. Karena sejatinya, puasa telah berurat dan berakar sejauh manusia mengayuh perahu peradabannya. Pemahaman seperti ini, dapat diketahui dengan membaca beberapa literatur keagamaan klasik. Fakhru al-Rozhy (1123-1185 H), ketika menginterpretasikan ayat puasa dalam al-Qur'an, menyatakan bahwa Nabi Adam – manusia pertama penghuni planet bumi ini – adalah orang yang pertama kali melaksanakan ritual tersebut, sebagai titah dari Tuhan-Nya. Dan sampai sekarang pun, milyaran manusia masih berpuasa setiap tahunnya.

Padahal, di tengah arus modernitas dunia dan cara berfikir manusia yang semakin ilmiyah, banyak sekali produk budaya yang harus terkikis sedikit-demi sedikit dan akhirnya hilang menjadi sampah peradaban (Toby E. Huff, 1993).

Dengan demikian, puasa merupakan ritual yang kian lama mata rantainya kian berputar kencang, tidak aus, atau putus oleh arus perputaran zaman. Sebaliknya, puasa mampu menebarkan aromanya di setiap waktu. Sehingga, manusia dalam lapis norma, kepercayaan, dan etnis yang berbeda, terus berlomba untuk menghisap sari dan madunya.

Puasa Dalam Perspektif

Agama Samawi atau agama Abrahamik, yang meliputi Islam, Kristen dan Yahudi, memiliki cara dan tujuan tersendiri dalam pelaksanaan puasa. Sebagai contoh, dalam Islam, puasa dianggap sebagai rukun Islam yang ke-empat, dan ditujukan untuk meningkatkan derajat ketakwaan.

Al-Ghozali, dalam kajian mystic-nya pernah menjelaskan, bahwa dalam diri setiap orang, bersemayam lima unsur yang berbeda: sadistic, animalistic, satanic, akal, dan robbaniyah. Kelima unsur tersebut, saling mempengarui satu sama lain. Namun, relitanya, unsur-unsur negatif yang lebih sering mendominasi. Sehingga, poses menuju ketakwaan menjadi terhambat. Karena itu, puasa dihadirkan sebagai proses akselerasi untuk merealisasikan tujuan tersebut.

Demikian pula dalam Agama-agama Timur, puasa dianggap sebagai bagian dari proses keagamaan yang sangat penting. Sebagai contoh, Sidarta Gautama, pernah melakukan tapa brata di bawah pohon bodhi dengan tidak makan dan minum. Tujuannya, tidak lain untuk membuang jauh "kehendak diri" yang membuat jiwanya menjadi sengsara. Ia percaya, bahwa dengan membuang kehendak tersebut, jiwanya akan sampai pada kebahagiaan nirwana.

Sementara itu, dalam kepercayaan tradisional, atau yang sering disebut dengan "agama nenek moyang", puasa juga dipercaya memiliki nilai-nilai positif tertentu. Orang-orang jawa, dalam tradisi primordial, banyak yang melakukan ritual puasa untuk memperoleh kesaktian, mengasah ilmu-ilmu kanuragan. Sebaliknya, orang-orang Inca di Peru dan suku-suku asli Amerika percaya, bahwa puasa dapat pula dijadikan sebagai media penebusan dosa.

Dalam perkembangannya, puasa tidak saja dikaitkan dengan dimensi spiritual-keagamaan semata, tapi juga dimensi politik dan medis. Dewasa ini, puasa (mogok makan) sering digunakan untuk mengekspresikan keprihatinan atau protes terhadap sebuah kebijakan. Bahkan, hunger strike dianggap sebagai perlawanan tanpa kekerasan yang ampuh dalam merealisasikan berbagai tujuan. Sebagai contoh, pada Desember 2007 yang lalu, seorang politikus, David Swan, melakukan puasa selama tujuh hari, sebagai bentuk keprihatinan terhadap krisis Darfur, di tengah dunia yang seolah membisu. Bahkan, lebih dari itu, sekelompok orang di Jawa Barat, pernah melakukan aksi mogok makan dengan menjahit mulut mereka selama tiga pekan, sebagai protes terhadap kasus SUTET (saluran udara tegangan ekstra tinggi) yang dinilai sangat merugikan mereka.

Sedangkan dalam science modern, melalui pendekatan medis, puasa terbukti dapat berfungsi sebagai terapi kesehatan dan membantu seseorang dalam mewujudkan prilaku hidup sehat. Terlebih, jika seorang pasien akan menjalani operasi pembedahan dengan menggunakan obat bius (anesthetic), maka ia tidak diperbolehkan makan selama beberapa jam – sesuai anjuran dokter. Karena asupan makanan yang masuk dalam sistem pencernaan seorang pasien, selama proses anesthetia tersebut berlangsung, dapat menyebabkan komplikasi yang berakibat fatal.

Demikianlah puasa, budaya yang terlahir dari Determinasi-Kulturalnya yang beragam. Budaya yang tidak hanya dijalani oleh orang-orang primitif atau tradisioanal semata, tapi juga oleh golongan cerdik pandai. Budaya yang multifungsi, multidimensi, dan universal.

Rabu, 15 Oktober 2008

Tut Wuri Handayani dan Kearifan Penggagasnya

Tut Wuri Handayani” yang kita kenal sebagai Semboyan Pendidikan Nasional, tidak dapat dipisahkan dari sosok Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara (1889-1959). Sebenarnya, kata-kata tersebut terambil dari ungkapan beliau sendiri, yaitu: Ing ngarso sung tulodo (di depan memberikan teladan), ing madyo mangun karso (di tengah membangun motivasi), tut wuri handayani (di belakang memberikan inspirasi). Pada awalnya, ungkapan tersebut dijadikan semboyan untuk Perguruan Taman Siswa, lembaga pendidikan yang didirikannya pada tahun 1922, sebagai upaya untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat pribumi agar memperoleh pendidikan yang layak seperti kaum priyayi dan Bangsa Belanda.

Taman Siswa adalah lembaga pendidikan pra kemerdekaan yang lahir atas dasar keprihatinan terhadap nasib bangsa yang kian hari kian tidak menentu, di bawah bayang-bayang dominasi dan penindasan bangsa lain. Karenanya, Taman Siswa dimunculkan sebagai wahana pembangunan masyarakat untuk mencapai manusia Indonesia yang seutuhnya, merdeka secara lahir dan batin, tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb; dan mampu mengendalikan setiap keadaan – sesulit apapun. Adapun tujuan pendidikan Tamansiswa – sebagaimana yang di cita-citakan oleh penggagasnya – adalah untuk mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang paripurna – beriman, bertakwa, merdeka, berbudi luhur, cerdas, memiliki sekil, dan sehat jasmani dan rohani (www.dikti.go.id.28/8/08).

Semboyan dan Jati Diri
Di tengah krisis multi dimensi yang melanda Bangsa Indonesia waktu itu – sebagai akibat dari penjajahan – segala daya dan upaya dipersembahkan oleh para patriot untuk ibu pertiwi tercinta. Mereka sadar, bahwa hanya dengan pendidikan, keterpurukan nasib bangsa akan segera dapat teratasi. Agaknya, kondisi yang serba memprihatinkan inilah yang memaksa Ki Hajar Dewantara untuk memunculkan sebuah semboyan, atau slogan yang dapat memicu semangat bangsa ini menuju kedewasaan dan kemapanan. Maka terambilah "tut wuri handayani" sebagai semboyan untuk Taman Siswanya.

Kata-kata tersebut, kalau dicermati secara seksama, memiliki kaitan yang cukup erat dengan gambaran umum tentang status sosial sebuah masyarakat atau bangsa; yang ada ada kalanya di atas (ing ngarso), di tengah (ing madyo), bahkan di bawah (tut wuri). Dan dalam pada itu, sudah selayaknya kalau setiap masyarakat atau bangsa, apapun statusnya, harus berusaha untuk mendayagunakan segenap kemampuannya demi kepentingan bersama. Namun, yang menjadi big question adalah, kenapa “tut wuri handayani” yang dipilih beliau sebagai semboyan, bukan “ing madyo mangun karso” atau “ing ngarso sung tulodo”? Pertanyaan ini penting untuk dicermati terkait dengan nasib pendidikan bangsa Indonesia saat ini. Padahal, status tengah akan lebih baik dari status bawah, dan status atas akan lebih baik dari status tengah. Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dilakukan beberapa pengamatan yang cukup intens. Kemungkinan pertama – perihal tutwuri handayani sebagai semboyan – tekait dengan Sistem Among yang diterapkan oleh beliau dalam metodologi pembelajaran yang diberlakukan di Taman Siswa pada waktu itu. Dimana Sistem Among merupakan metode pembelajaran yang berorientasi untuk menjaga, membina, dan mendidik anak dengan kasih sayang. Karenanya, guru disebut dengan pamong, yaitu seorang yang harus mengemong anak didiknya dari waktu ke waktu, tidak terbatas pada jam belajar di kelas. Dan dalam mengemong, idealnya seorang guru harus berada di belakang, agar dapat memperhatikan anak didiknya, mengatur dan mengarahkan dengan baik. Kemugkinan kedua, beliau menginsafi kondisi bangsanya carut marut pada saat itu, terutama dalam bidang pendidikan, dimana tingkat pendidikan bangsa Indonesia sangat rendah, jauh tertinggal oleh bangsa-bangsa lain. Maka dalam kondisi yang serba sulit tersebut, paling tidak, sebagai komponen bangsa (terlebih guru) harus tetap memberikan dorongan dan insfirasi. Maka berdasarkan kedua kemungkinan di atas, pengambilan “tut wuri handayani” sebagai semboyan dirasa lebih relevan jika dibandingkan dengan “ing madyo mangun karso” apalagi “ing ngarso sung tulodo”. Dan dalam perkembangannya, semboyan tersebut dipatenkan menjadi semboyan Pendidikan Nasional.

Status Baru Pendidikan Nasional
Dalam kurun waktu yang relatif panjang, sejak didirikannya Perguruan Taman Siswa (1922) hingga kini – dimana Indonesia telah merayakan kebangkitannya yang ke-100 – pembangunan pendidikan di Indonesia telah mengalami banyak kemajuan yang cukup signifikan, meskipun di sana-sini masih banyak yang perlu dibenahi. Berdasarkan laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada kamis (29/11/07) menunjukkan, bahwa raport pendidikan Indonesia menduduki peringkat ke-62 dari 130 negara di dunia. Catatan prestasi ini, mengalami penurunan empat angka jika dibanding dengan tahun sebelumnya. Dengan demikian education development index (EDI) Indonesia (0.935) berada di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965) (www.opinibebas.epajak.org.1/9/08).

Namun, di tengah-tengah kondisi pendidikan yang jauh dari kategori kwalitas baik ini, Indonesia masih memiliki catatan prestasi yang dapat dibanggakan. Ternyata, kwalitas individu dari anak-anak Indonesia mampu menorehkan tinta emas di kancah sains internasional. Berikut adalah prestasi-prestasi tersebut: Indonesia pernah menempati urutan ke-2 se-Asia setelah Cina dalam bidang fisika, menempati papan atas fisika dunia (10 besar) dengan membawa pulang medali emas, berkali-kali mendapat peringkat atas dengan kriteria First Step to Nobel Prize, dan menjuarai kompetisi komputer di India dan Las Vegas dengan kriteria ranking 1 absolut. Demikian pula di bidang-bidang lainnya, seperti matematika, kimia dan biologi (www.ochta.wordpress.com.1/9/08).

Akhirnya, terlepas dari semua kekurangan dan prestasi yang telah ditorehkan anak-anak negri ini, kita sebagai komponen bangsa yang memiliki visi dan misi yang jelas, berkewajiban untuk meng-upgread jati diri dan kehormatan Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi lagi, agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Semangat “tut wuri handayani” yang telah dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, hendaknya diteruskan menjadi “ing madyo mangun karso”, yang berarti, Indonesia sekarang harus mampu mengobarkan semangat pembaharuan di tengah msyarakatnya. Hal ini sesuai dengan kategori yang disandang oleh Indonesia dalam Human Development Index. Dimana UNDP (United Nation Development Program) dalam laporannya pada tahun 2006-2007 menggolongkan Indonesia kedalam Negara dengan Pembangunan SDM Menegah (Medium Human Development). Bahkan, kerja keras serta perjuangan tersebut tidak boleh hanya sampai di situ, harus lebih dikembangkan lagi, agar kedepan Indonesia dapat menjadi teladan bagi bangsa-bangsa lain (ing ngarso sung tulodo).

Niat Menurut Joseph Schacht

A. Pendahuluan

Niat adalah sesuatu yang sangat fundamental dalam Islam[1]. Karenanya, niat tidak dapat dipisahkan dari setip prosesi ibadah. Dalam kitab hadits Al -Arbain Al-Nawawiyyah, terdapat satu riwayat yang menerangkan tentang betapa pentingnya proses niat tersebut: "Dari Amirul Mukminin Abi Hafsh Umar bin Al-Khottob r.a. berkata: aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda “ sesungguhnya (sahnya) amal perbuatan hanya dengan niat. Bagi setiap orang tergantung niyatnya. Barang siapa yang (niat) hijrahnya karena karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasulnya. Dan barang siapa (niat) hijrahnya karena perempuan yang inigin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai apa yang dia niatkan". (HR. Bukhory Muslim).

Hadits tersebut, menurut Ibnu Daqiq dikategorikan sebagai salah satu hadits yang menggerakan roda Islam. Imam Ahmad dan Imam syafi’I menambahkan, bahwa hadits tersebut memuat sepertiga ilmu. Alasannya adalah – sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Baehaqi dan yang lainnya – karena setiap perbuatan seorang hamba berkaitan dengan tiga aspek, yaitu: hati, lisan, dan anggota tubuh. Sedangkan niat adalah satu dari ketiga hal tersebut. Al-Imam Al-Syafi’i pernah meriwayatkan secara terpisah, bahwa hadits tersebut masuk (menjadi topik bahasan) dalam tujuh puluh bab masalah-masalah fikih. Sedangkan mayoritas ulama mengatakan, bahwa hadits tersebut, merupakan sepertiga bagian dari islam itu sendiri[3]. Berkenaan dengan hal inilah, Joseph Schacht, dalam bukunya Pengantar Hukum Islam, mencoba menguraikan tentang hal-ihwal niat dalam Islam. Mencoba membandingkan antara satu ibadah dan yang lainnya berdasrkan niat.

B. Definisi Niat
Menurut Abdurrohman Al-Jaziry, yang dimaksud dengan niat adalah ketetapan hati untuk melakukan ibadah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah semata. Atau, dapat pula diartikan dengan al-irodah al-qowiyyah (keinginan yang kuat).[4]
Sebenarnya, ahli fikih sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Karenanya, seorang yang nelapalkan niat ketika hendak melaksanakan sholat, misalnya, tapi hati kecilnya menolak, maka keabsahan sholatnya menjadi gugur.[5]

C. Konsep Niat Dalam Pandangan Joseph Schacht
Dalam pandangan Islam, kewajiban agama tidak hanya dilihat dari penampilan luar, tetapi - lebih jauh dari itu - berdasarkan niat dan ketulusannya. Biasanya, niat diucapkan secara exsplisit atau verbal, sekurang-kurangnya secara bathiniyah. karena perbuatan tanpa niat dianggap tidak sah, demikian pula niat tanpa perbuatan. Sehingga, konsep niat dimaksudkan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Akan teapi, pernyataan ini dalam hukum Islam bukan hanya sebuah manifestasi dari kehendak, ia mempunyai nilai sendiri, dan didalam keadaan tertentu dapat menghasilkan akibat-akibat hukum meskipun tanpa atau melawan kehendak[6].
Sebuah pernyataan, yang dibuat dalam istilah yang exsplisit dan formal secar hukum sah, meskipun niatnya tidak diucapkan. Kemudian, pernyataan niat yang tidak sempurna masih dianggap sah menurut hukum . Kecuali kalau ucapannya salah, maka dipandang tidak sah. [7]
Meskipun demikian, pernyataan niat tidak didevinisikan dengan sempit. hukum Islam juga mengakui pernyataan niat dengan menggunakan isyarat. Tetapi, hal tersebut tidak berlaku sebagai ketentuan umum. Hanya berlaku pada ksus-kasus tertentu, seperti pada kasus mempelai wanita Ketika dia diam, tersenyum, atau menangis yang berarti setuju.

Sebenarnya, dari konsep niat tersebut, tidak ada yang secara tegas dibantah atau disangsikan oleh Joseph Schacht. Hanya saja, dia menganggap bahwa konsep tersebut sangat rumit, dan merepotkan. Karenanya, dia menyarankan agar semua bentuk pernyataan niat perlu diuji kembali. Terlebih pada pernyataan niat yang dianggap meragukan dan tidak jelas (mubham).

D. Kesimpulan dan Penutup
Niat adalah sesuatu yang sangat penting, sebagai manifestasi dari ajaran Islam yang tidak hanya mementingkan aspek lahir, tetapi juga aspek batin. Ketika kita melihat seseorang yang pergi kepasar, secara spontan kita bisa mengartikan bahwa dia akan membeli sesuatu. Tetapi, belum tentu demikian kalau kita melihat dari sisi hatinya. Karena bisa saja dia ingin mencuri atau melakukan hal-hal lainnya. Dengan demikin, Islam sangat seimbang dalam mengajarkan konsep niat, dimana bukan amal perbuatan semata yang dinilai, tetapi juga ketulusan hati.

Akan halnya dengan anggapan Joseph Schacht yang menyatakan bahwa konsep niat sangat rumit, sebetulnya tidak demikian. karena tidak setiap Ibadah menghajatkan konsep-konsep niat seperti yang dijelaskan diatas. Al-Imam Al-Syafi’i sendiri memasukan niat hanya dalam tujuh puluh masalah-masalah keislaman. Berarti, yang selebihnya sangat fleksibel. Ibnu Rusyd Dalam bukunya Bidayah al-Mujtahid, mengemukakan dua pendapat mayoritas ulama tentang niat. Yang intinya adalah: niat diwajibkan sebagai persaratan untuk kesempurnaan sifat dan bilangan suatu ibadah. Sedangkan ibadah yang tidak memiliki sifat dan bilangan, tidak diperlukan niat, karena sudah bisa difahami secara akal[8]. Dengan demikian, sebenarnya konsep niat dalam Islam tidaklah sesulit dan serumit yang dibayangkan oleh Joseph Schacht. Demikian semoga bermanfaat.



End Not
[1] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, hal. 173
[2] al-Nawawi, Yahya Syarofuddin, Al-Imam , Al-Arba’in Al-Nawawiyyah, Jeddah: 1415 H, Muassasah al-Thiba’ah wa al- Shihafah wa al- Nasyr hal. 9
[3] Ibid, hal. 10
[4] Al-Jaziry, Abdurrahman , Al-Fikh ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: tanpa tahun, Ihya Al-turats Al-Aroby, hal.209
[5] Ibid, hal. 209
[6] OP. Cit. Joseph Schacht hal. 174
[7] OP. Cit. Joseph Schacht hal. 174
[8] Ibnu Rusd, Bidayah Al-Mujtahid, tanpa nama kota dan tahun, Dar Al-Fikr, hal. 329

Selasa, 02 September 2008

Ramadhan: Puasa Membuka Tabir Jati Diri Muslim


Sejak bulan rajab menjelang – terlebih ketika memasuki pertengahan bulan sya’ban – suasana hati kaum muslimin di berbagai belahan penjuru dunia dihinggapi kerinduan yang mendalam. Perasaan tersebut merupakan manifestasi cinta seorang hamba yang terdorong oleh fitrahnya untuk segera bersimpuh dan bersujud di hadapan Tuhan-Nya, mengingat gerak-gerik serta langkah kakinya yang – mungkin – selama ini bertambah jauh dari jalan-Nya. Hal ini merupakan tradisi baik yang telah dicontohkan oleh Nabi sendiri dan para sahabatnya, dimana mereka melakukan persiapan yang matang untuk menyambut kedatangan ramadhan. Karenanya – dalam menyambut ramadhan – para ulama terdahulu senantiasa meningkatkan kwalitas ibadahnya seraya berdoa, ”Ya Allah, karuniakan kepada kami pada bulan ini (Ramadhan) keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. Berikanlah kepada kami, taufik dan i’anyah-Mu agar kami mampu melaksanakan amalan-amalan yang Engkau cintai dan Engkau ridhai.”. hal ini senada dengan salah satu sabda yang diucapkan oleh nabi : Ya Allah, berkahilah kami di bulan rajab dan sya’ban, dan sampaikan kami kepada ramadhan(). Maka kita berucap al-hamdulillah penuh syukur, karena kita sekarang sudah berada di dalam.

Nilai Puasa

Bulan ramadhan sering juga disebut dengan bulan puasa, karena pada bulan tersebut ibadah puasa diwajibkan bagi setiap muslim yang telah cukup syarat. Sebenarnya, jika puasa dikaitkan dengan nilai-nilai agama atau alasan-alasan spiritual, maka hal tersebut telah menjadi bagian dari kebiasaan ummat manusia sejak zaman pra sejarah. Hal ini sebagaimana tersebut dalam Kitab Mahabarata, Injil, Qur’an, dan kitab-kitab suci agama lainnya (wikipedia, 29, 2008). Karenanya Allah s.w.t berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS.2: 183). Dalam ayat tersebut, Allah memberikan perintah dalam bentuk kalimat pasif (diwajibkan atas kalian). Ini menggambarkan, bahwa Allah tidak memonopoli puasa sebagai kewajiban yang datang dari-Nya semata, tetapi, manusia pun – di setiap tingkatan dan masa – memiliki kesadaran untuk melaksanakannya, mengingat manfaatnya yang begitu banyak (Quraisy Syihab, 1994).

Dalam pandangan Agama Hindu, puasa bertujuan untuk mematikan kehendak yang akan membawa manusia kepada penderitaan yang berkepanjangan. Karena dalam pandangan penganutnya, selama raga masih kuat, maka jiwa akan terhambat menuju nirwana – sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Sidarta Gautama ketika ia bertapa di bawah pohon bodhi, sehingga tubuhnya menjadi kurus kering tinggal tulang (HAMKA, 1983).

Sedangkan dalam Islam, puasa dimaksudkan sebagai media untuk mengarahkan dan mengendalikan diri, agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh nafsu yang akan menghantarkannya pada jalan yang salah. Karenanya, meskipun halal, selama berpuasa seorang muslim diharamkan makan, minum, dan melakukan hubungan seksual; terlebih hal-hal yang haram secara syar’i, seperti mencuri, berbohong, bersumpah palsu, membicarakan aib orang dan yang lainnya. Dan hal ini penting untuk dilakukan, mengingat naluri manusia diberi kebebasan oleh Allah s.w.t, tidak seperti binatang, yang secara insting telah teratur dengan sendirinya – dapat mengatur jenis, kadar, dan kebutuhannya, seperti makan, tidur, kawin dan yang lainnya. Inilah yang terkadang menimbulkan bahaya, atau paling tidak menghambat fungsi dan tujuan kemanusiaannya – jika tidak diatur atau diseimbangkan (Quraisy Syihab, 1994).

Puasa dan Jati Diri

Puasa sebagai usaha lahir batin, tidak hanya dilakukan oleh manusia, tapi juga oleh binatang-binatang tertentu. Seekor kepompong tidak akan pernah bermetamorfosa menjadi kupu-kupu dewasa yang indah dan cantik sebelum menjalankan “tapa brata” selama berhari-hari, dengan tidak makan dan minum. Proses ini sangat berat, melebihi apa yang dilakukan oleh puasa manusia. Namun, demi untuk menguak jati diri yang sebenarnya – karena tidak ingin terjebak dalam kejumudan – dan demi proses transformasi, semua itu dilakukan. Selanjutnya, dalam tingkatan yang lebih tinggi, ada diantara hewan yang melakukan tidur panjang selama musim dingin (hibernasi), seperti kelelawar, beruang kutub, jenis ikan tertentu dan yang lainnya. Proses ini, dilakukan demi untuk mempertahankan eksistensi dirinya di masa masa-masa mendatang. Contoh dari kedua binatang tersebut – yang melakukan ritual puasa sebagai sebuah keharusan – bertujuan untuk menguak jati diri yang sebenarnya, agar menjadi makhluk yang diterima dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya.

Sekarang, bagaimanakah hubungan antara puasa dengan jati diri seorang muslim? Dalam diri manusia, terdapat beberapa unsur yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Unsur-unsur tersebut – sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Imam Al-Ghozali – adalah animalisme, sadisme, satanic, akal dan rabbani. Seseorang yang dalam hidupnya terpengaruh oleh ketiga unsur negatif tadi, maka akan berprilaku layaknya hewan dan syetan, yang tidak tau malu, bengis, profokatif, mementingkan diri sendiri dan yang lainnya. Sedangkan kedua unsur positif (akal dan robbani) yang dimilikinnya terkadang tidak banyak membantu – kalah. Karenanya, seorang muslim memerlukan media lain untuk membantu dan menanggulangi krisis tersebut, dan yang paling efektif adalah ”puasa”.

Dengan berpuasa seorang muslim akan berusaha sedapat mungkin untuk mendekatkan dirinya kepada Allah, melakukan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangannya. Dengan demikian, ia akan mampu menelanjangi dirinya dari unsur-unsur tercela di atas; dan dalam pada itu, kecantikan serta keelokan pribadinya yang selama ini terpendam, akan muncul sebagai buah dari kesungguhannya, menjadi energi posotif yang banyak membawa manfaat. Lebih lanjut, Al-Ghozali menjelaskan, bahwa orang yang berpuasa dengan penuh kesungguhan (imanan wa ihtisaban) akan mampu membangkitkan energi positif yang terpendam dalam dirinya, yaitu: pertama, memiliki kejernihan dan ketajaman hati; karena puasa tak ubahnya zakat yang membersihkan sisa harta. Sebagaimana sabda Rasul.s.a.w.: ” segala sesuatu memiliki zakat, dan zakat badan adalah puasa. (HR: Ibnu Majah). Kedua, memiliki kepekaan terhadap sesama; karena seorang yang perutnya lapar akan mengingatkan selalu pada penderitaan sesamanya – tidak egois atau mementingkan diri sendiri. Ketiga, dapat mengendalikan diri dari syahwat; karena syahwat berasal dari energi yang dihasilkan oleh asupan makanan, maka orang yang lapar, akan jauh dari bayang-bayang syahwatnya yang memikat. Ketiga, menyehatkan badan dari berbagai gangguan penyakit. KH. Wahid Hasyim (mantan mentri agama pertama, yang juga bapak dari KH. Abdurahman Wahid) senantiasa mendawamkan puasa – meski di luar ramadhan – karena beliau merasakan, bahwa dengan berpuasa penyakit gula yang dideritanya menjadi berkurang. Keempat, menciptakan kesederhanan; karena seorang yang berpuasa akan menginsafi dirinya, bahwa hidup bukan sekedar makan, minum, dan berfoya-foya, tapi memiliki tujuan yang jauh lebih mulia. Demikianlah beberapa hal positif yang harus digali oleh setiap muslim yang melakukan ibadah puasa. Sehingga, paska ramadhan, nilai-nilai tersebut diharapkan dapat membumi kedalam pribadi setiap muslim – kembali kepada fitrahnya.


Kamis, 21 Agustus 2008

Imam Syafi'i dan Seorang Ateis


Seorang ateis mendatangi majlis Imam Syafi'i r.a., kemudian dia mengatakan: "Bukti apa yang dapat anda tunjukan tentang eksistensi Allah?" Maka sang Imam pun menjawab: " Daun murbey memiliki satu rasa, satu warna, satu aroma, dan satu karakter; tapi, ketika dimakan oleh ulat sutra, maka akan menghasilkan serat sutra; ketika dimakan oleh lebah, maka akan mengeluarkan madu; ketika dimakan oleh kambing, maka akan menumbuhkan daging dan menambah air susunya; ketika dimakan oleh rusa, maka aka memberinya nutrisi, dan dari kulitnya keluar minyak kesturi. Siapakah yang menjadikan hal tersebut memiliki banyak kategori dan hasil berbeda, sedang asalnya hanyalah satu? Dialah Allah.

فتبارك الله أحسن الخالقين

Belajar Dari Semut

Semut adalah salah satu jenis serangga yang hidup secara berkoloni. Jenis ini – yang termasuk kedalam family Formicidae – ­ jika dilihat dari bentuknya, tampak mirip seperti lebah. Allah s.w.t. mengabadikan nama tersebut dengan menjadikannya sebagai salah satu nama surat (Surat Al-Naml). Ketika Nabi Sulaeman a.s. sedang mengadakan perjalanan bersama bala tentaranya, beliau sempat dibuat tergelak oleh “seekor ketua koloni semut” yang bertingkah polah seperti dirinya. Al-Qur’an mencatatnya sebagai berikut: “Seekor semut berkata, wahai para semut, masuklah kalian ke tempat masing-masing, agar tidak terinjak-injak oleh sulaeman dan bala tentaranya, sedang mereka tidak merasakan”. (QS. al-Naml:18)

Senada dengan al-Qur’an, science modern mengungkap, bahwa semut memiliki alat komunikasi tersendiri – berupa kode-kode khusus – yang dipergunakan untuk memahami antar satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, semut-semut tersebut dapat menjalin kerjasama dengan baik, dan dapat pula memecahkan setiap problem yang ada dengan jalan musyawarah untuk mufakat – super organisme.

Ketika seekor semut mendapati makanan, maka dengan sigap akan langsung membawanya menuju sarangnya, baik untuk dibagikan secara langsung atau untuk disimpan sebagai cadangan makanan. Namun ketika tidak mampu membawanya, karena beban yang terlalu berat, maka hewan tersebut akan memanggil teman-temannya. Dan atas komandonya, sebagai penemu pertama – dalam barisan yang cukup panjang laksana devile pasukan – makanan tersebut akan dibawa secara bergantian – seperti sedang mengusung jenazah – menuju gudang penyimpanan makanan.

Dalam menyimpan makanan, jenis binatang ini memiliki intelegensia yang cukup tinggi. Dimana kalau makanannya berupa biji gandum, maka akan dibelahnya menjadi dua bagian, dan kalau berupa biji ketumbar, maka akan dibelahnya menjadi empat bagian. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar biji-bijian tersebut tidak tumbuh dalam sarang yang berupa terowongan-terowongan di dalam tanah. Namun yang lebih mengherankan lagi, semut adalah satu-satunya hewan yang mengubur bangkai sesamanya setelah terjadi pertarungan – menunjukan rasa bela sungkawa dan tanggung jawab.

Agaknya, inilah yang menjadi alasan (hikmah) kenapa Allah s.w.t. mengabadikan karakter semut di dalam al-Qur’an. Tentunya, agar – dengan tamtsil tersebut – kita mampu mewujudkan tata laksana organisasi dan kepemimpinan yang baik. Sehingga, kemakmuran dan kesejahteraan hidup akan segera terwujud. “Sesungguhnya pada hal yang demikian itu, terdapat pelajaran bagi orang-orang yang memiliki hati atau menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikan peristiwanya”. (QS. Qof:37).