Rabu, 15 Oktober 2008

Niat Menurut Joseph Schacht

A. Pendahuluan

Niat adalah sesuatu yang sangat fundamental dalam Islam[1]. Karenanya, niat tidak dapat dipisahkan dari setip prosesi ibadah. Dalam kitab hadits Al -Arbain Al-Nawawiyyah, terdapat satu riwayat yang menerangkan tentang betapa pentingnya proses niat tersebut: "Dari Amirul Mukminin Abi Hafsh Umar bin Al-Khottob r.a. berkata: aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda “ sesungguhnya (sahnya) amal perbuatan hanya dengan niat. Bagi setiap orang tergantung niyatnya. Barang siapa yang (niat) hijrahnya karena karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasulnya. Dan barang siapa (niat) hijrahnya karena perempuan yang inigin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai apa yang dia niatkan". (HR. Bukhory Muslim).

Hadits tersebut, menurut Ibnu Daqiq dikategorikan sebagai salah satu hadits yang menggerakan roda Islam. Imam Ahmad dan Imam syafi’I menambahkan, bahwa hadits tersebut memuat sepertiga ilmu. Alasannya adalah – sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Baehaqi dan yang lainnya – karena setiap perbuatan seorang hamba berkaitan dengan tiga aspek, yaitu: hati, lisan, dan anggota tubuh. Sedangkan niat adalah satu dari ketiga hal tersebut. Al-Imam Al-Syafi’i pernah meriwayatkan secara terpisah, bahwa hadits tersebut masuk (menjadi topik bahasan) dalam tujuh puluh bab masalah-masalah fikih. Sedangkan mayoritas ulama mengatakan, bahwa hadits tersebut, merupakan sepertiga bagian dari islam itu sendiri[3]. Berkenaan dengan hal inilah, Joseph Schacht, dalam bukunya Pengantar Hukum Islam, mencoba menguraikan tentang hal-ihwal niat dalam Islam. Mencoba membandingkan antara satu ibadah dan yang lainnya berdasrkan niat.

B. Definisi Niat
Menurut Abdurrohman Al-Jaziry, yang dimaksud dengan niat adalah ketetapan hati untuk melakukan ibadah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah semata. Atau, dapat pula diartikan dengan al-irodah al-qowiyyah (keinginan yang kuat).[4]
Sebenarnya, ahli fikih sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Karenanya, seorang yang nelapalkan niat ketika hendak melaksanakan sholat, misalnya, tapi hati kecilnya menolak, maka keabsahan sholatnya menjadi gugur.[5]

C. Konsep Niat Dalam Pandangan Joseph Schacht
Dalam pandangan Islam, kewajiban agama tidak hanya dilihat dari penampilan luar, tetapi - lebih jauh dari itu - berdasarkan niat dan ketulusannya. Biasanya, niat diucapkan secara exsplisit atau verbal, sekurang-kurangnya secara bathiniyah. karena perbuatan tanpa niat dianggap tidak sah, demikian pula niat tanpa perbuatan. Sehingga, konsep niat dimaksudkan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Akan teapi, pernyataan ini dalam hukum Islam bukan hanya sebuah manifestasi dari kehendak, ia mempunyai nilai sendiri, dan didalam keadaan tertentu dapat menghasilkan akibat-akibat hukum meskipun tanpa atau melawan kehendak[6].
Sebuah pernyataan, yang dibuat dalam istilah yang exsplisit dan formal secar hukum sah, meskipun niatnya tidak diucapkan. Kemudian, pernyataan niat yang tidak sempurna masih dianggap sah menurut hukum . Kecuali kalau ucapannya salah, maka dipandang tidak sah. [7]
Meskipun demikian, pernyataan niat tidak didevinisikan dengan sempit. hukum Islam juga mengakui pernyataan niat dengan menggunakan isyarat. Tetapi, hal tersebut tidak berlaku sebagai ketentuan umum. Hanya berlaku pada ksus-kasus tertentu, seperti pada kasus mempelai wanita Ketika dia diam, tersenyum, atau menangis yang berarti setuju.

Sebenarnya, dari konsep niat tersebut, tidak ada yang secara tegas dibantah atau disangsikan oleh Joseph Schacht. Hanya saja, dia menganggap bahwa konsep tersebut sangat rumit, dan merepotkan. Karenanya, dia menyarankan agar semua bentuk pernyataan niat perlu diuji kembali. Terlebih pada pernyataan niat yang dianggap meragukan dan tidak jelas (mubham).

D. Kesimpulan dan Penutup
Niat adalah sesuatu yang sangat penting, sebagai manifestasi dari ajaran Islam yang tidak hanya mementingkan aspek lahir, tetapi juga aspek batin. Ketika kita melihat seseorang yang pergi kepasar, secara spontan kita bisa mengartikan bahwa dia akan membeli sesuatu. Tetapi, belum tentu demikian kalau kita melihat dari sisi hatinya. Karena bisa saja dia ingin mencuri atau melakukan hal-hal lainnya. Dengan demikin, Islam sangat seimbang dalam mengajarkan konsep niat, dimana bukan amal perbuatan semata yang dinilai, tetapi juga ketulusan hati.

Akan halnya dengan anggapan Joseph Schacht yang menyatakan bahwa konsep niat sangat rumit, sebetulnya tidak demikian. karena tidak setiap Ibadah menghajatkan konsep-konsep niat seperti yang dijelaskan diatas. Al-Imam Al-Syafi’i sendiri memasukan niat hanya dalam tujuh puluh masalah-masalah keislaman. Berarti, yang selebihnya sangat fleksibel. Ibnu Rusyd Dalam bukunya Bidayah al-Mujtahid, mengemukakan dua pendapat mayoritas ulama tentang niat. Yang intinya adalah: niat diwajibkan sebagai persaratan untuk kesempurnaan sifat dan bilangan suatu ibadah. Sedangkan ibadah yang tidak memiliki sifat dan bilangan, tidak diperlukan niat, karena sudah bisa difahami secara akal[8]. Dengan demikian, sebenarnya konsep niat dalam Islam tidaklah sesulit dan serumit yang dibayangkan oleh Joseph Schacht. Demikian semoga bermanfaat.



End Not
[1] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, hal. 173
[2] al-Nawawi, Yahya Syarofuddin, Al-Imam , Al-Arba’in Al-Nawawiyyah, Jeddah: 1415 H, Muassasah al-Thiba’ah wa al- Shihafah wa al- Nasyr hal. 9
[3] Ibid, hal. 10
[4] Al-Jaziry, Abdurrahman , Al-Fikh ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: tanpa tahun, Ihya Al-turats Al-Aroby, hal.209
[5] Ibid, hal. 209
[6] OP. Cit. Joseph Schacht hal. 174
[7] OP. Cit. Joseph Schacht hal. 174
[8] Ibnu Rusd, Bidayah Al-Mujtahid, tanpa nama kota dan tahun, Dar Al-Fikr, hal. 329

Tidak ada komentar: