Selasa, 02 September 2008

Ramadhan: Puasa Membuka Tabir Jati Diri Muslim


Sejak bulan rajab menjelang – terlebih ketika memasuki pertengahan bulan sya’ban – suasana hati kaum muslimin di berbagai belahan penjuru dunia dihinggapi kerinduan yang mendalam. Perasaan tersebut merupakan manifestasi cinta seorang hamba yang terdorong oleh fitrahnya untuk segera bersimpuh dan bersujud di hadapan Tuhan-Nya, mengingat gerak-gerik serta langkah kakinya yang – mungkin – selama ini bertambah jauh dari jalan-Nya. Hal ini merupakan tradisi baik yang telah dicontohkan oleh Nabi sendiri dan para sahabatnya, dimana mereka melakukan persiapan yang matang untuk menyambut kedatangan ramadhan. Karenanya – dalam menyambut ramadhan – para ulama terdahulu senantiasa meningkatkan kwalitas ibadahnya seraya berdoa, ”Ya Allah, karuniakan kepada kami pada bulan ini (Ramadhan) keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. Berikanlah kepada kami, taufik dan i’anyah-Mu agar kami mampu melaksanakan amalan-amalan yang Engkau cintai dan Engkau ridhai.”. hal ini senada dengan salah satu sabda yang diucapkan oleh nabi : Ya Allah, berkahilah kami di bulan rajab dan sya’ban, dan sampaikan kami kepada ramadhan(). Maka kita berucap al-hamdulillah penuh syukur, karena kita sekarang sudah berada di dalam.

Nilai Puasa

Bulan ramadhan sering juga disebut dengan bulan puasa, karena pada bulan tersebut ibadah puasa diwajibkan bagi setiap muslim yang telah cukup syarat. Sebenarnya, jika puasa dikaitkan dengan nilai-nilai agama atau alasan-alasan spiritual, maka hal tersebut telah menjadi bagian dari kebiasaan ummat manusia sejak zaman pra sejarah. Hal ini sebagaimana tersebut dalam Kitab Mahabarata, Injil, Qur’an, dan kitab-kitab suci agama lainnya (wikipedia, 29, 2008). Karenanya Allah s.w.t berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS.2: 183). Dalam ayat tersebut, Allah memberikan perintah dalam bentuk kalimat pasif (diwajibkan atas kalian). Ini menggambarkan, bahwa Allah tidak memonopoli puasa sebagai kewajiban yang datang dari-Nya semata, tetapi, manusia pun – di setiap tingkatan dan masa – memiliki kesadaran untuk melaksanakannya, mengingat manfaatnya yang begitu banyak (Quraisy Syihab, 1994).

Dalam pandangan Agama Hindu, puasa bertujuan untuk mematikan kehendak yang akan membawa manusia kepada penderitaan yang berkepanjangan. Karena dalam pandangan penganutnya, selama raga masih kuat, maka jiwa akan terhambat menuju nirwana – sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Sidarta Gautama ketika ia bertapa di bawah pohon bodhi, sehingga tubuhnya menjadi kurus kering tinggal tulang (HAMKA, 1983).

Sedangkan dalam Islam, puasa dimaksudkan sebagai media untuk mengarahkan dan mengendalikan diri, agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh nafsu yang akan menghantarkannya pada jalan yang salah. Karenanya, meskipun halal, selama berpuasa seorang muslim diharamkan makan, minum, dan melakukan hubungan seksual; terlebih hal-hal yang haram secara syar’i, seperti mencuri, berbohong, bersumpah palsu, membicarakan aib orang dan yang lainnya. Dan hal ini penting untuk dilakukan, mengingat naluri manusia diberi kebebasan oleh Allah s.w.t, tidak seperti binatang, yang secara insting telah teratur dengan sendirinya – dapat mengatur jenis, kadar, dan kebutuhannya, seperti makan, tidur, kawin dan yang lainnya. Inilah yang terkadang menimbulkan bahaya, atau paling tidak menghambat fungsi dan tujuan kemanusiaannya – jika tidak diatur atau diseimbangkan (Quraisy Syihab, 1994).

Puasa dan Jati Diri

Puasa sebagai usaha lahir batin, tidak hanya dilakukan oleh manusia, tapi juga oleh binatang-binatang tertentu. Seekor kepompong tidak akan pernah bermetamorfosa menjadi kupu-kupu dewasa yang indah dan cantik sebelum menjalankan “tapa brata” selama berhari-hari, dengan tidak makan dan minum. Proses ini sangat berat, melebihi apa yang dilakukan oleh puasa manusia. Namun, demi untuk menguak jati diri yang sebenarnya – karena tidak ingin terjebak dalam kejumudan – dan demi proses transformasi, semua itu dilakukan. Selanjutnya, dalam tingkatan yang lebih tinggi, ada diantara hewan yang melakukan tidur panjang selama musim dingin (hibernasi), seperti kelelawar, beruang kutub, jenis ikan tertentu dan yang lainnya. Proses ini, dilakukan demi untuk mempertahankan eksistensi dirinya di masa masa-masa mendatang. Contoh dari kedua binatang tersebut – yang melakukan ritual puasa sebagai sebuah keharusan – bertujuan untuk menguak jati diri yang sebenarnya, agar menjadi makhluk yang diterima dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya.

Sekarang, bagaimanakah hubungan antara puasa dengan jati diri seorang muslim? Dalam diri manusia, terdapat beberapa unsur yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Unsur-unsur tersebut – sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Imam Al-Ghozali – adalah animalisme, sadisme, satanic, akal dan rabbani. Seseorang yang dalam hidupnya terpengaruh oleh ketiga unsur negatif tadi, maka akan berprilaku layaknya hewan dan syetan, yang tidak tau malu, bengis, profokatif, mementingkan diri sendiri dan yang lainnya. Sedangkan kedua unsur positif (akal dan robbani) yang dimilikinnya terkadang tidak banyak membantu – kalah. Karenanya, seorang muslim memerlukan media lain untuk membantu dan menanggulangi krisis tersebut, dan yang paling efektif adalah ”puasa”.

Dengan berpuasa seorang muslim akan berusaha sedapat mungkin untuk mendekatkan dirinya kepada Allah, melakukan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangannya. Dengan demikian, ia akan mampu menelanjangi dirinya dari unsur-unsur tercela di atas; dan dalam pada itu, kecantikan serta keelokan pribadinya yang selama ini terpendam, akan muncul sebagai buah dari kesungguhannya, menjadi energi posotif yang banyak membawa manfaat. Lebih lanjut, Al-Ghozali menjelaskan, bahwa orang yang berpuasa dengan penuh kesungguhan (imanan wa ihtisaban) akan mampu membangkitkan energi positif yang terpendam dalam dirinya, yaitu: pertama, memiliki kejernihan dan ketajaman hati; karena puasa tak ubahnya zakat yang membersihkan sisa harta. Sebagaimana sabda Rasul.s.a.w.: ” segala sesuatu memiliki zakat, dan zakat badan adalah puasa. (HR: Ibnu Majah). Kedua, memiliki kepekaan terhadap sesama; karena seorang yang perutnya lapar akan mengingatkan selalu pada penderitaan sesamanya – tidak egois atau mementingkan diri sendiri. Ketiga, dapat mengendalikan diri dari syahwat; karena syahwat berasal dari energi yang dihasilkan oleh asupan makanan, maka orang yang lapar, akan jauh dari bayang-bayang syahwatnya yang memikat. Ketiga, menyehatkan badan dari berbagai gangguan penyakit. KH. Wahid Hasyim (mantan mentri agama pertama, yang juga bapak dari KH. Abdurahman Wahid) senantiasa mendawamkan puasa – meski di luar ramadhan – karena beliau merasakan, bahwa dengan berpuasa penyakit gula yang dideritanya menjadi berkurang. Keempat, menciptakan kesederhanan; karena seorang yang berpuasa akan menginsafi dirinya, bahwa hidup bukan sekedar makan, minum, dan berfoya-foya, tapi memiliki tujuan yang jauh lebih mulia. Demikianlah beberapa hal positif yang harus digali oleh setiap muslim yang melakukan ibadah puasa. Sehingga, paska ramadhan, nilai-nilai tersebut diharapkan dapat membumi kedalam pribadi setiap muslim – kembali kepada fitrahnya.


Kamis, 21 Agustus 2008

Imam Syafi'i dan Seorang Ateis


Seorang ateis mendatangi majlis Imam Syafi'i r.a., kemudian dia mengatakan: "Bukti apa yang dapat anda tunjukan tentang eksistensi Allah?" Maka sang Imam pun menjawab: " Daun murbey memiliki satu rasa, satu warna, satu aroma, dan satu karakter; tapi, ketika dimakan oleh ulat sutra, maka akan menghasilkan serat sutra; ketika dimakan oleh lebah, maka akan mengeluarkan madu; ketika dimakan oleh kambing, maka akan menumbuhkan daging dan menambah air susunya; ketika dimakan oleh rusa, maka aka memberinya nutrisi, dan dari kulitnya keluar minyak kesturi. Siapakah yang menjadikan hal tersebut memiliki banyak kategori dan hasil berbeda, sedang asalnya hanyalah satu? Dialah Allah.

فتبارك الله أحسن الخالقين

Belajar Dari Semut

Semut adalah salah satu jenis serangga yang hidup secara berkoloni. Jenis ini – yang termasuk kedalam family Formicidae – ­ jika dilihat dari bentuknya, tampak mirip seperti lebah. Allah s.w.t. mengabadikan nama tersebut dengan menjadikannya sebagai salah satu nama surat (Surat Al-Naml). Ketika Nabi Sulaeman a.s. sedang mengadakan perjalanan bersama bala tentaranya, beliau sempat dibuat tergelak oleh “seekor ketua koloni semut” yang bertingkah polah seperti dirinya. Al-Qur’an mencatatnya sebagai berikut: “Seekor semut berkata, wahai para semut, masuklah kalian ke tempat masing-masing, agar tidak terinjak-injak oleh sulaeman dan bala tentaranya, sedang mereka tidak merasakan”. (QS. al-Naml:18)

Senada dengan al-Qur’an, science modern mengungkap, bahwa semut memiliki alat komunikasi tersendiri – berupa kode-kode khusus – yang dipergunakan untuk memahami antar satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, semut-semut tersebut dapat menjalin kerjasama dengan baik, dan dapat pula memecahkan setiap problem yang ada dengan jalan musyawarah untuk mufakat – super organisme.

Ketika seekor semut mendapati makanan, maka dengan sigap akan langsung membawanya menuju sarangnya, baik untuk dibagikan secara langsung atau untuk disimpan sebagai cadangan makanan. Namun ketika tidak mampu membawanya, karena beban yang terlalu berat, maka hewan tersebut akan memanggil teman-temannya. Dan atas komandonya, sebagai penemu pertama – dalam barisan yang cukup panjang laksana devile pasukan – makanan tersebut akan dibawa secara bergantian – seperti sedang mengusung jenazah – menuju gudang penyimpanan makanan.

Dalam menyimpan makanan, jenis binatang ini memiliki intelegensia yang cukup tinggi. Dimana kalau makanannya berupa biji gandum, maka akan dibelahnya menjadi dua bagian, dan kalau berupa biji ketumbar, maka akan dibelahnya menjadi empat bagian. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar biji-bijian tersebut tidak tumbuh dalam sarang yang berupa terowongan-terowongan di dalam tanah. Namun yang lebih mengherankan lagi, semut adalah satu-satunya hewan yang mengubur bangkai sesamanya setelah terjadi pertarungan – menunjukan rasa bela sungkawa dan tanggung jawab.

Agaknya, inilah yang menjadi alasan (hikmah) kenapa Allah s.w.t. mengabadikan karakter semut di dalam al-Qur’an. Tentunya, agar – dengan tamtsil tersebut – kita mampu mewujudkan tata laksana organisasi dan kepemimpinan yang baik. Sehingga, kemakmuran dan kesejahteraan hidup akan segera terwujud. “Sesungguhnya pada hal yang demikian itu, terdapat pelajaran bagi orang-orang yang memiliki hati atau menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikan peristiwanya”. (QS. Qof:37).

Rabu, 20 Agustus 2008

ORANG-ORANG ASING DI MATA ALLAH

Akir-akhir ini, aliran-aliran keislaman cukup marak di Indonesia. Kita mendengar tentang Ahmadiyah, Islam Sejati, ajaran Salamullah, Al-Qur’an Suci, kemudian Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan yang lainnya. Dimana kesemuanya muncul kepermukaan dengan membawa karakteristiknya masing-masing. Sehingga, tak jarang ajaran-ajarannya menyalahi apa yang sudah ditetapkan oleh Allah s.w.t. Maka pastinya, hal-hal tersebut akan sangat mengganggu, bahkan merusak perkembangan Islam yang hakiki, yang dikehendaki oleh Allah.s.w.t.

Bercampurnya ajaran-ajaran Islam yang murni dengan faham-faham lainnya – baik dulu maupun sekarang – adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat kita ingkari lagi. Adapun sebabnya – yang membuat keislaman seseorang menjadi menyimpang dapat dikatakan melalui dua faktor. Pertama, extern (pengaruh yang berasal dari musuh-musuh Islam) dan kedua, intern (pengaruh yang berasal orang-orang Islam sendiri). Namun agaknya, penyimpangan atau kesesatan yang melanda ummat ini, banyak disebabkan oleh kalangan Islam sendiri, inilah yang sangat berbahaya. Karena satu logam besi, jika dipukul dengan jenis logam besi yang sama, akan terlihat jelas kerusakannya.

Setiap kita (sebagai orang awam), dapat melakukan penyimpangan-penyimpangan dari ajaran Islam yang sebenarnya, karena kebodohan dan kelalaian kita. Namun ini tidak seberapa, karena dampaknya hanya kepada diri kita pribadi. Tapi, kalau yang melakukan penyimpangan adalah seorang tokoh atau seorang ulama, maka akan sangat berbahaya, karena ajaran-ajarannya akan diikuti dan dijadikan sebagai petunjuk bahkan agama baru oleh para pengikutnya. Maka kalau sudah demikian, akan sangat susah untuk dihilangkan. Karena sebuah ideologi apaun bentuk dan macamnya, kalau sudah terlanjur muncul kepermukaan, maka akan sangat susah untuk dimusnahkan. karena pastinya, ada saja yang menjadi pengikut dan pembelanya. Ibarat pepatah arab mengatakan:

لكل ساقط لاقط

“setiap sesuatu yang jatuh, selalu ada pemungutnya”

Rasulullah s.a.w bersabda:

" إن الله تعالى يبعث لهذه الأمة على رأس كل ما ئة سنة من يجدد لها دينها" (حديث صحيح أحرجه أبو داود)

Sesungguhnya Allah s.w.t. Akan mengutus kepada ummat ini, di setiap penghujung abad (setiap seratus tahun sekali), orang-orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka”.

Hadits Rasulullah tersebut, menyatakan tentang akan hadirnya para mujaddid (pembaharu) yang akan memperbaharui agama Allah. Dimana mereka didatangkan atau dihadirkan oleh Allah setiap seratus tahun sekali. Maka pertanyaannya adalah, apakah orang-orang yang menyatakan bahwa dirinya mendapat wahyu dari Allah, kemudian mengaku sebagai Nabi, ingkar terhadap sunnah, tidak mewajibkan sholat dan puasa, disebut sebagai mujaddid-mujaddid yang diutus oleh Allah s.w.t kepada kita? Jawabannya – pasti – bukan. Karena yang dimaksud tajdid disini, bukannya memperbaharui sesuatu yang fundamental, yang menjadi prinsip dalam agama kita, atau menghadirkan sesuatu yang baru yang menyalahi Al-Qur’an dan Sunnah, atau mencampuradukan ajaran-ajaran Islam dengan yang lainnya. Tapi yang dimaksud tajdid di sini adalah membersihkan Islam dari unsur-unsur luar yang merasukinya, sehingga Islam tampak jadid (baru) sebagai mana asalnya – sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits.

Rasulullah s.a.w. Bersabda:

تركت فيكم أمرين لن تضلوا بعدى ما ان تمسكتم بهما, كتاب الله وسنة رسوله...

“ aku telah tinggalkan kepada kalian dua pusaka, dimana jika kalian berpegang teguh kepadanya, maka tidak akan pernah sesat, yaitu kitabullah dan sunnah rasulnya”

Maka, marilah kita menimbang apa yang kita lakukan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jika apa yang kita lakukan bersesuaian dengan keduanya, maka itulah kebenaran yang datangnya dari Allah, tapi kalau yang kita lakukan bertentangan dengan keduanya, maka itulah kesesatan yang harus kita hindari.

Allah s.w.t berfirman:

اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكمالإسلام دينا

Agama Islam yang kita peluk saat ini, adalah agama yang sudah disempurnakan ajaran-ajarannya oleh Allah s.w.t, sehingga akan selalu sesuai dengan tuntutan zaman, kapanpun dan dimanapun. Maka tidak perlu ditambah-tambahkan, atau dikurang-kurangkan.

Akhirnya, sebagai penutup dari tulisan yang singkat ini, marilah kita renungkan kembali hadits nabi berikut ini:

إن الإسلام بدأ غريبا وسيعود غريبا كما بدأ, فطوبى للغرباء, قيل من هم يا رسول الله؟ قال: الذين يصلحون إذ فسد الناس"

“sesungguhnya, Islam muncul sebagai agama yang asing, dan akan kembali (dianggap) asing seperti sedia kala, maka beruntunglah bagi orang-orang yang dianggap asing. Rasulullah s.a.w. ditanya, ‘siapakah orang-orang yang dianggap asing tersebut?”. Rasul menjawab:” mereka adalah orang-orang yang senantiasa berada dalam kebenaran, meskipun yang lain menyimpang”.

Mudah-mudahan kita termasuk kedalam golongan ummat Muhammad, yang selalu terpelihara dari hal-hal yang akan membuat kita semakin jauh dari ajaran-ajaran islam yang hakiki. Amin!

Papa Berjasa, Kaya Berderma

Allah S.W.T. berfirman dalam surat Al- Hasyr ayat ke 9:

والذين تبوؤا الدار والإيمان من قبلهم يحبون من هاجر إليهم ولا يجدون فى صدورهم حاجة مما أوتوا ويؤثرون على أنفسهم ولوكان بهم خصاصة. ومن يوق شح نفسه فأولئك هم المفلحون.

(dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum kedatangan mereka (orang-orang muhajirirn), mereka mencintai mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka merekalah orang-orang yang beruntung).

Yang menjadi sabab al-nuzul, atau sebab turunnya ayat tersebut adalah... sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Huraeroh berikut ini:

Disebutkan, bahwa suatu hari Rasulullah s.a.w. kedatangan seorang tamu. Beliau menerimanya dengan baik, lalu mengutarakannya kepada istri-istrinya (agar dijamu). Tapi mereka berkata: ”kami tidak memiliki apa-apa selain air putih”. Kemudian Rasulullah mendatangi para sahabatnya seraya bersabda: ”siapakah yang mau menerima tamuku ini dan menjamunya?” salah satu sahabat dari golongan anshor berkata: ” saya, wahai Rasulullah.” sahabat tersebut kemudian bergegas membawa tamunya kerumahnya dan berpesan kepada istrinya dengan berkata: ”muliakanlah tamu Rasulullah ini”

Istrinya menjawab perlahan: ”kita tak punya apa-apa selain makanan untuk anak-anak kita.” suaminya berkata.”siapkan makananmu, nyalakan pelitamu, dan tidurkan anak-anakmu.” sebelum makan malam, sang istri menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Ketika akan makan, ia berdiri seolah akan memperbaiki lampu, agar terkesan bahwa dia dan suaminya juga seolah-olah sedang makan. Mereka berdua membunyikan alat makannya, didalam gelap gulita itu... Keduanya menahan lapar semalaman, karena jatahnya disediakan untuk tamu Rasulullah.

Keesokan harinya, sahabat Anshor tersebut menghadap Rasululullah. Maka Rasulullah bersabda: ”Allah sangat kagum dan tertawa (melihat) perbuatan kalian berdua.” lalu, Allah S.W.T. menurunkan ayat diatas...

Ayat yang tersebut diatas, secara tidak langsung, memuji kedermawanan dari seorang Anshor tadi, yang lebih mengutamakan orang lain karena kebutuhannya, dari pada diri dan keluarganya, ولو كان بهم خصاصة (meskipun, secara pribadi, mereka juga termasuk orang-orang yang sangat membutuhkan). Begitu agung sifat itsar, yang ditunjukan oleh sahabat tadi, sehingga Allah menjadi terkagum, dan tertawa, atas apa yang dilakukannya.

Dalam sebuah riwayat lain disebutkan, bahwa Qais bin Saad bin Ubadah yang terkenal sangat dermawan, ketika jatuh sakit, kawan-kawannya merasa malu untuk menjenguknya; karena mereka banyak berhutang kepadanya. Melihat kondisi tersebut, Qais berkata: ”semoga Allah menghinakan harta yang menghalang-halangi kawan-kawanku untuk menjengukku.” lalu, ia-pun menyuruh seseorang untuk memberitahu mereka, bahwa pada hari itu, hutang-hutang mereka telah dianngap lunas. Maka tak lama kemudian, datanglah kawan-kawannya untuk menjenguknya. Dan hampir saja, pintu rumahnya menjadi rusak, karena banyaknya orang yang berkunjung.

Melihat Kedalam (instrospeksi)

Ketika kita berdiri, bercermin pada ayat dan beberapa riwayat diatas, rasanya, kita malu, karena betapa jauhnya bayangan kita, dari apa yang dilukiskan oleh Allah dan Rasulnya. Bahkan, mungkin sebaliknya, kita adalah orang yang rakus dan tamak, orang yang tidak mau menengok kekiri dan kekanan, untuk berbagi dengan sesama. Yang ada hanyalah aku, aku dan aku, bagaimana kebutuhanku bisa terpenuhi. Bila perlu sikut kiri, sikut kanan, jilat atas injak bawah, bahkan, uang hasil korupsipun tak jadi masalah.

Kadang, kita terbutakan oleh keinginan dan napsu. Sebaliknya, kita menutup rapat hati dan pikiran kita, yang merupakan suara kebenaran dari Allah. Maka berhati-hatilah, ketika keinginan kita sudah melebihi apa yang kita butuhkan!!!

Mungkin, dalam menjalani kehidupan ini, kita hanya butuh satu rumah, tapi kita mau dua bahkan lebih. Mungkin, kita hanya butuh satu mobil, tapi kita mau dua bahkan lebih. Mungkin, kita hanya butuh satu posisi (jabatan), tapi kita mau semua jabatan. Dan, mungkin, kita hanya butuh satu pendamping hidup, tapi kita mau dua bahkan lebih.

Kaya Harta Kaya Amal

Hidup mewah dengan semua yang dihalalkan oleh Allah S.W.T., bukanlah sesuatu yang dilarang. Tapi, bukan berarti kita lantas lupa diri, dan menjadi seorang yang kikir.

Dalam Islam, kita mengenal sosok Imam Al-Laets ibn Saad, seorang ahli fikih terkemuka, yang sezaman dengan Imam Malik. Dalam kesehariannya, hidupnya sangat mewah, berbeda dengan Imam-Imam lainnya. Beliau menikmati semua yang halal, yang dianugrahkan oleh Allah kepadanya. Karena penghasilannya setiap hari, tidak kurang dari 100.000 dinar – jumlah yang sangat banyak. Namun demikian, beliau adalah seorang yang sangat dermawan. Setiap hari, tidak kurang dari 300 orang fakir miskin diberinya makan, diluar sahabat dan kawan-kawannya. Dan sebagaimana kebiasaanya, beliau tidak pernah memberikan sedekah kurang dari 50 dinar.

Suatu hari, seorang wanita datang kepadanya meminta satu rithl madu, untuk mengobati anaknya. Maka Al-laets, memerintahkan juru tulisnya, untuk memberinya, satu Mart (120 rithl). Juru tulisnya berkata: ” wanita itu hanya meminta satu Rithl, mengapa anda memberinya satu marth?”. Al-Laets pun menjawab: ” ia meminta menurut kadar keperluannya, maka saya memberinya menurut kadar kemampuan saya”.

Demikianlah pendiriannya, sehingga tidak heran, meskipun kekayaannya berlimpah, tapi setiap haul (akhir tauhun) sisa tidak pernah mencapai nishob (batas minimal dimana seseorang harus membayar zakat). Sehingga beliaulah orangnya, orang kaya yang tidak terkena taklif untuk membayar zakat. Bahkan dalam fatwanya beliau mengatakan: ” haram hukumnya bagi seorang muslim untuk menyimpan kekayaan, sebelum orang-orang yang disekelilingnya mencapai haddul kifaf (batas kecukupan)”. Dimana mereka bisa memenuhi kebutuhan pokoknya, tidak ada yang mengemis karena takut lapar, dan tidak ada yang menangis karena kelaparan.

إن ذلك لذكر لمن كان له قلب أو ألقى السمع وهو شهيد ( ق: 37)

(sesungguhnya, pada hal yang demikian itu, terdapat peringatan (pelajaran) bagi orang yang memiliki hati, dan menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya)

Maka marilah kita belajar untuk mendermakan apa yang kita miliki, semata mata karena Allah. Mungkin, kita tidak punya cukup harta, tapi kita punya tenaga. Mungkin, kita tidak cukup punya tenaga, tapi kita punya ilmu yang bisa didermakan. Demikian, dan seterusnya...

Minggu, 01 Juni 2008

ISLAM DALAM PANDANGAN ROBERT SEPENCER

A. Pendahuluan

“Islam adalah agama yang sarat dengan cinta kasih dan kedamaian”. Pernyataan tersebut, tentu saja keluar dari mulut seorang muslim yang mencintai agamanya. Sayyid Qutub, seorang tokoh penting dalam dunia Islam modern, pernah menyanjung dan memuji Islam dengan ungkapan berikut: “Islam adalah agama damai dan akidah yang penuh cinta. Islam adalah sistem yang membawa misi agar seluruh alam berada dalam lingkungan dan rahmatnya, yang berupa kedamaian dan cinta kasih”[1].

Tapi, agaknya, hal tersebut berbeda seratus delapan puluh derajat dengan peranyataan yang keluar dari mulut dan tulisan para orientalis. Mereka tidak mengidentikan Islam dengan agama yang penuh cinta kasih dan kedamaian.
Sebaliknya, mereka mendekatkan Islam dengan teror, penindasan dan sifat-sifat tidak terpuji lainnya. Intinya, bagi mereka – sebagaimana yang disimpulkan oleh Samuel Huntington dalam tesisnya – islam adalah ancaman bagi peradaban dunia, khususnya barat.

Suatu benda, kalau memiliki nilai atau sifat yang baik, akan mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari siapapun. Contoh kongkrit adalah nilai atau sifat yang ada pada logam mulia, seperti emas, perak dan yang lainnya. Lalau, bagaimanakah perihal Islam itu sendiri? Apakah nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya betul-betul asli, sebagaimana yang dinyatakan oleh anshor-anshornya? Dan kenapa pula orang-orang di luar Islam memandangnya sebagai sesuatu yang terbalik? Pada bahasan berikut ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut akan coba diulas dan dan diberikan pandangan yang tepat.

B. Doktrin Jihad dalam Islam
Dalam agama Islam, dikenal beberapa ajaran yang sangat fundamental, seperti sholat, zakat, puasa, jihad dan yang lainnya. Dari ketiga contoh ajaran tersebut, terdapat satu yang membuat non muslim merasa terteror dan sangat ketakutan. Yaitu tentang ajaran jihad yang dideklarasikan oleh Nabi Muhammad s.a.w. Dan doktrin inilah yang dianggap telah menjastifikasi setiap peperangan dalam Islam selama berabad - abad.

Dalam pandangan Islam klasik, orang-orang islam diperbolehkan untuk berperang melawan pihak-pihak yang menolak proklamasi Islam (dakwah). Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Saya telah diperintahkan untuk berperang melawan semua orang, sehingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, menegakan sholat, dan mengeluarkan zakat. Jika mereka mengerjakan semua itu, maka mereka menyelamatkan jiwa dan harta mereka, kecuali dengan hak-hak Allah. Dan, perhitungan mereka akan dilakukan oleh Allah”. (HR. Bukhori)
[2]. Dalam riwayat yang lain, berdasarkan kesaksian Abu Huraeroh, ia mendengar Nabi Muhammad bersabda: “Saya telah diperintahkan untuk memerangi ummat manusia, hingga mereka bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, percaya bahwa saya adalah utusan-Nya, dan (mengimani) seluruh misi yan saya bawakan. Ketika mereka melakukan itu, maka jiwa dan kekayaan mereka mendapatkan jaminan perlindungan atas nama saya, kecuali hal-hal yang memang dibenarkan oleh hukum, dan segala sesuatunya bergantung kepada Allah”. (HR. Muslim)[3]

Kedua hadits di atas, menurut pandangan Robert Spenser, merupakan pernyataan Nabi yang dijadikan justifikasi oleh banyak kalangan Islam untuk melakukan peperangan dengan orang-orang yang tidak mau bersaksi bahwa Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai rasul-Nya. Hal ini sangat nyata dan jelas, sebagaimana yang dilakukan oleh Osama bin Laden dan kawan-kawannya – sebagai Front Islam Dunia – pada penyerangan WTC 11 September yang silam. Dimana ribuan nyawa masarakat Amerika yang tidak berdosa harus terbuang dengan sia-sia[4]. Dan dalam banyak aksinya, yang sangat sarat dengan teror tersebut, ia selalu mengatakan bahwa semuanya berdasarkan landasan teologis yang benar, sesuai ajaran Islam. Berikut ini adalah deklasrasi Osama yang berhasil direkam, dimana dia mengatakan: “seluruh kejahatan dan dosa yang dilakukan oleh Amereika adalah pernyataan perang kepada Allah, rasul-Nya dan kaum Muslimin. Dan, para ulama telah bersepakat sepanjang sejarah Islam bahwa jihad merupakan kewajiban individu jika musuh menghancurkan Negara-negara Muslim. Ini diungkapkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya al-Mughni. Imam Kasa’I dalam Al-Bada’I, al-Qurtubi dalam tafsirnya, dan Syekh Islam dalam kitab-kitabnya, dimana ia berkata: peperangan untuk memukul mundur musuh, dimaksudkan untuk membela kesucian dan agama, dan itu merupakan kewajiban yang disepakati oleh para ulama. Tidak ada yang lebih suci dari keyakinan, kecuali memukul mundur musuh yang menyerang agama dan jiwa”.[5]

Lebih jauh, Robert Spencer menambahkan pernyataan Osama bin Laden tersebut dengan mengemukakan pandangan dari Madzhab Syafi’I dan madzhab Fikih Sunnah yang lainnya, seperti Dzahiri yang menyetujui jihad secara ofensif. Menurut Al-Buti, “ dia menandaskan bahwa penyebab utama dari adanya jihad adalah untuk menghapuskan paganisme. Berarti, jihad akan senantiasa berlanjut sampai kapanpun, selagi masih ada orang-orang tidak beriman. Dan kenyataannya, para penganut paganisme tersebut, sejak kmunculannya yang pertama sampai sekarang, masih tersebar luas[6].

Sehingga, ia berkesimpulan bahwa Islam adalah agama yang intoleran, tidak menghargai hak asasi manusia dan menjadi momok bagi penganut agama-agama lainnya. Padahal, sebagaimana yang terdapat dalam ajaran demokrasi, keberagamaan seseorang adalah sangat asasi. Sehingga, tak seorangpun yang boleh dipaksa, ditakut-takuti, dan diperangi karena keyakinannya.

C. Tanggapan
Sebenarnya, apa yang dinyatakan oleh Robert Spencer dalam tulisannya tersebut, adalah hal yang tidak baru lagi, dan bisa dikatakan basi. Mengapa demikian? Karena semenjak abad ke 18 – 19, terhitung banyak sekali buku-buku yang dihasilkan oleh para orientalis terebut
[7]. Dimana semuanya mengatakan bahwa Islam adalah agama bid’ah, Muhammad adalah nabi palsu, Al-Qur’an sebagai karangannya dan lain-lain.

Kutipan yang dijelaskan oleh Robert Spencer pada dua riwayat hadits tersebut, sungguh tidak utuh. Dan disinilah letak subjektifitasnya. Dia tidak menjelaskan kata-kata “ kecuali hal-hal yang memang dibenarkan oleh hukum, maka segala sesuatunya bergantung pada Allah”. Dimana kalau pernyataan tersebut dikaji dan difahami lebih dalam, maka akan sampai pada pengertian, bahwa Islam menjamin keselamatan dan jiwa non Muslim dari bangsa dan agama manapun, sekalipun mereka adalah penganut paganisme.
[8] Sehingga ketakutan-ketakutan tersebut, sebetulnya tidak perlu ada. Contoh lain yang sangat nyata dalam hal ini, yang menunjukan bahwa Islam sangat menghargai dan melindungi jiwa, adalah kondisi dan stabilitas Negara Madinah yang dirintis oleh Rasulullah s.a.w. Ini adalah fakta sejarah yang gilang-gemilag, dan siapapun mengakuinya.

Agaknya, pernyataan-pernyataan yang sengaja dilemparkan oleh Robert Spencer kemuka orang-orang Islam tersebut, bisa jadi merupakan kekawatirannya yang berlebihan. Mengingat Islam adalah agama yang paling produktif didunia. Karena dalam prediksinya sendiri, pada tahun 2025, jumlah penduduk muslim di dunia akan naik sebanyak 30 persen. Jumlah yang sangat pantastis, yang tidak bisa di capai oleh agama-agama dunia manapun. Hal ini sesuai dengan judul buku yang ditulisnya: “ Islam Unveild: Disturbing Questions about the world’s fastest – growing Faith”. Dan, berkaitan dengan pernyataan-pernyataan subversivnya tersebut – seputar doktrin dan tradisi Kaum Muslim – sebetulnya sudah dibantahkan oleh tokoh-tokoh orientalis lainnya, seperti Karen Amstrong dan yang semisal dengannya. Sehingga, sebenarnya, tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan. Karena satu logam besi, cukup dipukul dengan logam besi yang lainnya.

C. Kesimpulan dan Penutup
Islam adalah agama rahmatan li al-alamin. Karenanya, kekerasan dan terror adalah musuhnya. Maka siapapun yang melakukannya, baik dari kalangan muslim sendiri ataupun yang lainnya, akan berhadapan langsung dengan Hukum Islam. Dan sebagai penutup dari tulisan ini, berikut adalah pernyataan Syeh Yusuf Qordhowy tentang Islam, yang intinya: “Islam adalah air dan madu yang sangat menyegarkan bagi siapa saja yang membutuhkan, terutama bagi yang sedang sekarat ditengah ganasnya padang pasir”. Tapi, orang-orang Barat salah menilainya. Mereka mengangap bahwa air dan madu tersebut adalah racun yang membinasakan. Betapa kasihannya mereka! Demikian, semoga bermanfaat.***


End Not


[1] Sayyid Qutub, Fi dzilal al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani, 2004, hal.
[2] Shohih Bukhory, Vol. 1, bk. 2 no. 25
[3] Shohih Muslim, vol.1, bk.10. no. 31
[4] Robert Spencer, Islam ditelanjangi, Jakarta: PARAMADINA, 2004, hal.236
[5] Ibid, hal.263
[6] Ibid, hal.264
[7] Menurut Edward Said, terhitung dari tahun 1800 – 1950, buku-buku yang ditulis oleh para orientalis yang berusaha untuk menyerang Islam berjumlah 60.000 buku. Jumlah yang sangat mencengangkan.
[8] Yusuf Qordhowy, Halal Haram dalam Islam, Bandung: Jabal, 2007, hal. 335

Rabu, 21 Mei 2008

NILAI YANG HILANG

Syahdan, di sebuah kerajaan, tepatnya di Romawi Kuno, hiduplah seorang Pak Tani yang sangat baik hati. Karena satu alasan dan lain hal, Pak Tani tersebut bermaksud menjual satu-satunya rumah miliknya kepada tetangganya. Dengan harga yang telah disepakati bersama, resmilah rumah Pak Tani tersebut berpindah tangan, dan menjadi milik tetangganya.

Singkat cerita, pada suatu hari yang tak pernah terduga sebelumnya, pemilik rumah baru tersebut (tetangga Pak Tani) menemukan harta karun yang tersimpan di dalam tanah bekas rumah Pak Tani. Maka, dengan muka yang terbelalak, kaget tidak percaya, bergegaslah ia menemui Pak Tani yang menjual rumahnya tersebut. Sesampainya disana, tanpa basa-basi dia mengatakan kepadan Pak Tani, “ Pak Tani, dengan tidak sengaja aku telah melakukan penggalian di bekas rumahmu untuk tujuan tertentu; namun yang tidak bisa ku percaya, ku temukan di dalamnya piringan-piringan emas”. “Lantas, apa yang menjadi kepentingan tuan kemari?” sahut Pak Tani terheran-heran. “Maksud kedatanganku kemari adalah untuk memberitahukan hal tersebut, bahwa itu adalah hakmu, karena aku hanya membeli rumah dan tanahmu, bukan termasuk apa yang terkandung di dalamnya”. Petanipun menjawab, “Tidak, itu adalah hak tuan, karena akupun sama, tidak pernah tau kalau di dalamnya terdapat harta simpanan, percayalah, itu rizki tuan, yang dititipkan Tuhan melaluiku”. Demikian pernyataan dan pendirian kedua orang tersebut, kedua-duanya saling menyerahkan dan tidak ada yang mau menerima. Satu sama lain menganggap, bahwa harta simpanan tersebut bukan hak mereka. Pembeli beranggapan bahwa petanilah yang berhak memiliki harta sersebut, dan demikian pula sebaliknya.

Maka, pada keesokan harinya, keduanya bersepakat menghadap Sang Raja, guna meminta solusi terkait masalah mereka. Setelah mendengar pernyataan dan alasan kedua belah pihak – perihal harta karun tersebut – Sang Raja tertegun sejenak, jauh di dalam hatinya tersimpan kekaguman mendalam pada kedua orang tersebut. Akirnya, setelah berfikir beberapa jurus lamanya, Sang Rajapun angkat bicara, “ Begini, Pak Tani, apakah kamu memiliki seorang anak?” “ Ya, saya memiliki seorang putra yang sekarang sudah beranjak dewasa”. Jawab petani dengan jujur. “ Sekarang giliranmu!” tegur Sang Raja pada tetangga Pak Tani yang membeli rumahnya tersebut. “ Apakah kamu juga memiliki seorang anak?” “ Ya, saya juga memiliki seorang putri, yang sekarang sedang beranjak dewasa”. Demikian jawab tetanggga Pak Tani tersebut dengan tidak kalah jujurnya. Sang Rajapun melanjutkan ucapannya, “ Baik, kalau demikian adanya, keputusanku adalah, kalian harus menikahkan kedua anak kalian, dengan demikian kalian berdua akan menjadi sebuah keluarga besar, dan harta tersebut, dapat kalian pergunakan untuk kepentingan dan kelangsungan hidup anak-anak kalian”. Mendengar keputusan tersebut, Pak Tani dan tetangganya saling berpandangan. Namun keduanya faham, bahwa itulah putusan yang paling bijak. Maka pulanglah keduanya dengan hati berbunga-bunga penuh kebahagiaan. Akhirnya, sesuai permintaan Sang Raja, merekapun menikahkan kedua anaknya, dan berkat itu semua, mereka menjadi keluarga besar yang berkecukupan.***

Sahabat, cerita di atas, kemungkinan hanya sebuah dongeng fiksi belaka, yang kalau kita cari kebenaran faktanya, bisa jadi tidak akan pernah ketemu. Namun, kalau kita melihatnya dengan kedalaman hati dan kejernihan jiwa, maka akan kita dapati beberapa pelajaran yang sarat dengan nilai dan hikmah. Kita bisa berandai-andai, kalau saja para pemimpin kita sekarang (Presiden, Wakil Presiden, Anggota Dewan, Gubernur, Bupati dll) seperti Sang Raja, dan semua rakyatnya seperti Pak Tani dan tetangganya – sebagaimana cerita di atas – insya Allah, Indonesia akan menjadi baldatun thoyyibatun wa Robbun Ghofur, toto titi tentrem, gemah ripah loh jinawi. Tidak seperti sekarang. Krisis terjadi hampir di segala bidang. Pengangguran dan kemiskinan semakin bertambah-tambah. Korupsi dan ilegal loging meraja lela. Tawuran antar masa dan kejahatan semakin meningkat. Dan masih banyak lagi, yang mana semuanya menunjukan, bahwa bangsa ini masih belum sembuh dari sakit panasnya. Tapi, apapun yang terjadi, kita sebagai komponen bangsa harus tetap optimis. Karena setetes harapan akan jauh lebih baik, ketimbang putus asa atau sekedar hayal yang muluk – tanpa usaha. “Banyak jalan menuju Roma”. Walaupun kenyataannya, Roma yang sering dielu-elukan tersebut cuma satu (ibu kota Itali).