Minggu, 18 Oktober 2009

Realitas Puasa

Puasa sebagai bagian dari budaya, baik yang bersumber dari agama atau kepercayaan tertentu, merupakan warisan turun-temurun. Manusia telah mengenal ritual ini – dengan aneka cara dan tujuannya – sejak zaman pra-sejarah. Karena itu, dengan meminjam istilah Herskovits, tidak salah kalau puasa disebut sebagai superorganic.

Sampai hari ini, terhitung sejak 22 Agustus yang lalu, ummat Islam di seluruh dunia masih dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan 1430 H. Mereka tidak makan, minum, berhubungan sex, dan melakukan hal-hal terlarang lainnya, dari sejak matahari terbit hingga terbenam.

Meskipun demikian, penulis tidak bermaksud mengangkat tema puasa secara sepihak, berdasarkan kepercayaan atau agama tertentu. Tapi, berusaha menggunakan pendekatan sejarah dan universalitas puasa itu sendiri.

Puasa dari Masa ke Masa

Membincang masalah puasa, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sejarah manusia itu sendiri. Karena sejatinya, puasa telah berurat dan berakar sejauh manusia mengayuh perahu peradabannya. Pemahaman seperti ini, dapat diketahui dengan membaca beberapa literatur keagamaan klasik. Fakhru al-Rozhy (1123-1185 H), ketika menginterpretasikan ayat puasa dalam al-Qur'an, menyatakan bahwa Nabi Adam – manusia pertama penghuni planet bumi ini – adalah orang yang pertama kali melaksanakan ritual tersebut, sebagai titah dari Tuhan-Nya. Dan sampai sekarang pun, milyaran manusia masih berpuasa setiap tahunnya.

Padahal, di tengah arus modernitas dunia dan cara berfikir manusia yang semakin ilmiyah, banyak sekali produk budaya yang harus terkikis sedikit-demi sedikit dan akhirnya hilang menjadi sampah peradaban (Toby E. Huff, 1993).

Dengan demikian, puasa merupakan ritual yang kian lama mata rantainya kian berputar kencang, tidak aus, atau putus oleh arus perputaran zaman. Sebaliknya, puasa mampu menebarkan aromanya di setiap waktu. Sehingga, manusia dalam lapis norma, kepercayaan, dan etnis yang berbeda, terus berlomba untuk menghisap sari dan madunya.

Puasa Dalam Perspektif

Agama Samawi atau agama Abrahamik, yang meliputi Islam, Kristen dan Yahudi, memiliki cara dan tujuan tersendiri dalam pelaksanaan puasa. Sebagai contoh, dalam Islam, puasa dianggap sebagai rukun Islam yang ke-empat, dan ditujukan untuk meningkatkan derajat ketakwaan.

Al-Ghozali, dalam kajian mystic-nya pernah menjelaskan, bahwa dalam diri setiap orang, bersemayam lima unsur yang berbeda: sadistic, animalistic, satanic, akal, dan robbaniyah. Kelima unsur tersebut, saling mempengarui satu sama lain. Namun, relitanya, unsur-unsur negatif yang lebih sering mendominasi. Sehingga, poses menuju ketakwaan menjadi terhambat. Karena itu, puasa dihadirkan sebagai proses akselerasi untuk merealisasikan tujuan tersebut.

Demikian pula dalam Agama-agama Timur, puasa dianggap sebagai bagian dari proses keagamaan yang sangat penting. Sebagai contoh, Sidarta Gautama, pernah melakukan tapa brata di bawah pohon bodhi dengan tidak makan dan minum. Tujuannya, tidak lain untuk membuang jauh "kehendak diri" yang membuat jiwanya menjadi sengsara. Ia percaya, bahwa dengan membuang kehendak tersebut, jiwanya akan sampai pada kebahagiaan nirwana.

Sementara itu, dalam kepercayaan tradisional, atau yang sering disebut dengan "agama nenek moyang", puasa juga dipercaya memiliki nilai-nilai positif tertentu. Orang-orang jawa, dalam tradisi primordial, banyak yang melakukan ritual puasa untuk memperoleh kesaktian, mengasah ilmu-ilmu kanuragan. Sebaliknya, orang-orang Inca di Peru dan suku-suku asli Amerika percaya, bahwa puasa dapat pula dijadikan sebagai media penebusan dosa.

Dalam perkembangannya, puasa tidak saja dikaitkan dengan dimensi spiritual-keagamaan semata, tapi juga dimensi politik dan medis. Dewasa ini, puasa (mogok makan) sering digunakan untuk mengekspresikan keprihatinan atau protes terhadap sebuah kebijakan. Bahkan, hunger strike dianggap sebagai perlawanan tanpa kekerasan yang ampuh dalam merealisasikan berbagai tujuan. Sebagai contoh, pada Desember 2007 yang lalu, seorang politikus, David Swan, melakukan puasa selama tujuh hari, sebagai bentuk keprihatinan terhadap krisis Darfur, di tengah dunia yang seolah membisu. Bahkan, lebih dari itu, sekelompok orang di Jawa Barat, pernah melakukan aksi mogok makan dengan menjahit mulut mereka selama tiga pekan, sebagai protes terhadap kasus SUTET (saluran udara tegangan ekstra tinggi) yang dinilai sangat merugikan mereka.

Sedangkan dalam science modern, melalui pendekatan medis, puasa terbukti dapat berfungsi sebagai terapi kesehatan dan membantu seseorang dalam mewujudkan prilaku hidup sehat. Terlebih, jika seorang pasien akan menjalani operasi pembedahan dengan menggunakan obat bius (anesthetic), maka ia tidak diperbolehkan makan selama beberapa jam – sesuai anjuran dokter. Karena asupan makanan yang masuk dalam sistem pencernaan seorang pasien, selama proses anesthetia tersebut berlangsung, dapat menyebabkan komplikasi yang berakibat fatal.

Demikianlah puasa, budaya yang terlahir dari Determinasi-Kulturalnya yang beragam. Budaya yang tidak hanya dijalani oleh orang-orang primitif atau tradisioanal semata, tapi juga oleh golongan cerdik pandai. Budaya yang multifungsi, multidimensi, dan universal.