Rabu, 15 Oktober 2008

Tut Wuri Handayani dan Kearifan Penggagasnya

Tut Wuri Handayani” yang kita kenal sebagai Semboyan Pendidikan Nasional, tidak dapat dipisahkan dari sosok Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hajar Dewantara (1889-1959). Sebenarnya, kata-kata tersebut terambil dari ungkapan beliau sendiri, yaitu: Ing ngarso sung tulodo (di depan memberikan teladan), ing madyo mangun karso (di tengah membangun motivasi), tut wuri handayani (di belakang memberikan inspirasi). Pada awalnya, ungkapan tersebut dijadikan semboyan untuk Perguruan Taman Siswa, lembaga pendidikan yang didirikannya pada tahun 1922, sebagai upaya untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat pribumi agar memperoleh pendidikan yang layak seperti kaum priyayi dan Bangsa Belanda.

Taman Siswa adalah lembaga pendidikan pra kemerdekaan yang lahir atas dasar keprihatinan terhadap nasib bangsa yang kian hari kian tidak menentu, di bawah bayang-bayang dominasi dan penindasan bangsa lain. Karenanya, Taman Siswa dimunculkan sebagai wahana pembangunan masyarakat untuk mencapai manusia Indonesia yang seutuhnya, merdeka secara lahir dan batin, tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb; dan mampu mengendalikan setiap keadaan – sesulit apapun. Adapun tujuan pendidikan Tamansiswa – sebagaimana yang di cita-citakan oleh penggagasnya – adalah untuk mengantarkan peserta didik menjadi manusia yang paripurna – beriman, bertakwa, merdeka, berbudi luhur, cerdas, memiliki sekil, dan sehat jasmani dan rohani (www.dikti.go.id.28/8/08).

Semboyan dan Jati Diri
Di tengah krisis multi dimensi yang melanda Bangsa Indonesia waktu itu – sebagai akibat dari penjajahan – segala daya dan upaya dipersembahkan oleh para patriot untuk ibu pertiwi tercinta. Mereka sadar, bahwa hanya dengan pendidikan, keterpurukan nasib bangsa akan segera dapat teratasi. Agaknya, kondisi yang serba memprihatinkan inilah yang memaksa Ki Hajar Dewantara untuk memunculkan sebuah semboyan, atau slogan yang dapat memicu semangat bangsa ini menuju kedewasaan dan kemapanan. Maka terambilah "tut wuri handayani" sebagai semboyan untuk Taman Siswanya.

Kata-kata tersebut, kalau dicermati secara seksama, memiliki kaitan yang cukup erat dengan gambaran umum tentang status sosial sebuah masyarakat atau bangsa; yang ada ada kalanya di atas (ing ngarso), di tengah (ing madyo), bahkan di bawah (tut wuri). Dan dalam pada itu, sudah selayaknya kalau setiap masyarakat atau bangsa, apapun statusnya, harus berusaha untuk mendayagunakan segenap kemampuannya demi kepentingan bersama. Namun, yang menjadi big question adalah, kenapa “tut wuri handayani” yang dipilih beliau sebagai semboyan, bukan “ing madyo mangun karso” atau “ing ngarso sung tulodo”? Pertanyaan ini penting untuk dicermati terkait dengan nasib pendidikan bangsa Indonesia saat ini. Padahal, status tengah akan lebih baik dari status bawah, dan status atas akan lebih baik dari status tengah. Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dilakukan beberapa pengamatan yang cukup intens. Kemungkinan pertama – perihal tutwuri handayani sebagai semboyan – tekait dengan Sistem Among yang diterapkan oleh beliau dalam metodologi pembelajaran yang diberlakukan di Taman Siswa pada waktu itu. Dimana Sistem Among merupakan metode pembelajaran yang berorientasi untuk menjaga, membina, dan mendidik anak dengan kasih sayang. Karenanya, guru disebut dengan pamong, yaitu seorang yang harus mengemong anak didiknya dari waktu ke waktu, tidak terbatas pada jam belajar di kelas. Dan dalam mengemong, idealnya seorang guru harus berada di belakang, agar dapat memperhatikan anak didiknya, mengatur dan mengarahkan dengan baik. Kemugkinan kedua, beliau menginsafi kondisi bangsanya carut marut pada saat itu, terutama dalam bidang pendidikan, dimana tingkat pendidikan bangsa Indonesia sangat rendah, jauh tertinggal oleh bangsa-bangsa lain. Maka dalam kondisi yang serba sulit tersebut, paling tidak, sebagai komponen bangsa (terlebih guru) harus tetap memberikan dorongan dan insfirasi. Maka berdasarkan kedua kemungkinan di atas, pengambilan “tut wuri handayani” sebagai semboyan dirasa lebih relevan jika dibandingkan dengan “ing madyo mangun karso” apalagi “ing ngarso sung tulodo”. Dan dalam perkembangannya, semboyan tersebut dipatenkan menjadi semboyan Pendidikan Nasional.

Status Baru Pendidikan Nasional
Dalam kurun waktu yang relatif panjang, sejak didirikannya Perguruan Taman Siswa (1922) hingga kini – dimana Indonesia telah merayakan kebangkitannya yang ke-100 – pembangunan pendidikan di Indonesia telah mengalami banyak kemajuan yang cukup signifikan, meskipun di sana-sini masih banyak yang perlu dibenahi. Berdasarkan laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada kamis (29/11/07) menunjukkan, bahwa raport pendidikan Indonesia menduduki peringkat ke-62 dari 130 negara di dunia. Catatan prestasi ini, mengalami penurunan empat angka jika dibanding dengan tahun sebelumnya. Dengan demikian education development index (EDI) Indonesia (0.935) berada di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965) (www.opinibebas.epajak.org.1/9/08).

Namun, di tengah-tengah kondisi pendidikan yang jauh dari kategori kwalitas baik ini, Indonesia masih memiliki catatan prestasi yang dapat dibanggakan. Ternyata, kwalitas individu dari anak-anak Indonesia mampu menorehkan tinta emas di kancah sains internasional. Berikut adalah prestasi-prestasi tersebut: Indonesia pernah menempati urutan ke-2 se-Asia setelah Cina dalam bidang fisika, menempati papan atas fisika dunia (10 besar) dengan membawa pulang medali emas, berkali-kali mendapat peringkat atas dengan kriteria First Step to Nobel Prize, dan menjuarai kompetisi komputer di India dan Las Vegas dengan kriteria ranking 1 absolut. Demikian pula di bidang-bidang lainnya, seperti matematika, kimia dan biologi (www.ochta.wordpress.com.1/9/08).

Akhirnya, terlepas dari semua kekurangan dan prestasi yang telah ditorehkan anak-anak negri ini, kita sebagai komponen bangsa yang memiliki visi dan misi yang jelas, berkewajiban untuk meng-upgread jati diri dan kehormatan Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi lagi, agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Semangat “tut wuri handayani” yang telah dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Nasional kita, hendaknya diteruskan menjadi “ing madyo mangun karso”, yang berarti, Indonesia sekarang harus mampu mengobarkan semangat pembaharuan di tengah msyarakatnya. Hal ini sesuai dengan kategori yang disandang oleh Indonesia dalam Human Development Index. Dimana UNDP (United Nation Development Program) dalam laporannya pada tahun 2006-2007 menggolongkan Indonesia kedalam Negara dengan Pembangunan SDM Menegah (Medium Human Development). Bahkan, kerja keras serta perjuangan tersebut tidak boleh hanya sampai di situ, harus lebih dikembangkan lagi, agar kedepan Indonesia dapat menjadi teladan bagi bangsa-bangsa lain (ing ngarso sung tulodo).

Niat Menurut Joseph Schacht

A. Pendahuluan

Niat adalah sesuatu yang sangat fundamental dalam Islam[1]. Karenanya, niat tidak dapat dipisahkan dari setip prosesi ibadah. Dalam kitab hadits Al -Arbain Al-Nawawiyyah, terdapat satu riwayat yang menerangkan tentang betapa pentingnya proses niat tersebut: "Dari Amirul Mukminin Abi Hafsh Umar bin Al-Khottob r.a. berkata: aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda “ sesungguhnya (sahnya) amal perbuatan hanya dengan niat. Bagi setiap orang tergantung niyatnya. Barang siapa yang (niat) hijrahnya karena karena Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasulnya. Dan barang siapa (niat) hijrahnya karena perempuan yang inigin dinikahinya, maka hijrahnya sesuai apa yang dia niatkan". (HR. Bukhory Muslim).

Hadits tersebut, menurut Ibnu Daqiq dikategorikan sebagai salah satu hadits yang menggerakan roda Islam. Imam Ahmad dan Imam syafi’I menambahkan, bahwa hadits tersebut memuat sepertiga ilmu. Alasannya adalah – sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Baehaqi dan yang lainnya – karena setiap perbuatan seorang hamba berkaitan dengan tiga aspek, yaitu: hati, lisan, dan anggota tubuh. Sedangkan niat adalah satu dari ketiga hal tersebut. Al-Imam Al-Syafi’i pernah meriwayatkan secara terpisah, bahwa hadits tersebut masuk (menjadi topik bahasan) dalam tujuh puluh bab masalah-masalah fikih. Sedangkan mayoritas ulama mengatakan, bahwa hadits tersebut, merupakan sepertiga bagian dari islam itu sendiri[3]. Berkenaan dengan hal inilah, Joseph Schacht, dalam bukunya Pengantar Hukum Islam, mencoba menguraikan tentang hal-ihwal niat dalam Islam. Mencoba membandingkan antara satu ibadah dan yang lainnya berdasrkan niat.

B. Definisi Niat
Menurut Abdurrohman Al-Jaziry, yang dimaksud dengan niat adalah ketetapan hati untuk melakukan ibadah dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah semata. Atau, dapat pula diartikan dengan al-irodah al-qowiyyah (keinginan yang kuat).[4]
Sebenarnya, ahli fikih sepakat bahwa tempat niat adalah hati. Karenanya, seorang yang nelapalkan niat ketika hendak melaksanakan sholat, misalnya, tapi hati kecilnya menolak, maka keabsahan sholatnya menjadi gugur.[5]

C. Konsep Niat Dalam Pandangan Joseph Schacht
Dalam pandangan Islam, kewajiban agama tidak hanya dilihat dari penampilan luar, tetapi - lebih jauh dari itu - berdasarkan niat dan ketulusannya. Biasanya, niat diucapkan secara exsplisit atau verbal, sekurang-kurangnya secara bathiniyah. karena perbuatan tanpa niat dianggap tidak sah, demikian pula niat tanpa perbuatan. Sehingga, konsep niat dimaksudkan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum. Akan teapi, pernyataan ini dalam hukum Islam bukan hanya sebuah manifestasi dari kehendak, ia mempunyai nilai sendiri, dan didalam keadaan tertentu dapat menghasilkan akibat-akibat hukum meskipun tanpa atau melawan kehendak[6].
Sebuah pernyataan, yang dibuat dalam istilah yang exsplisit dan formal secar hukum sah, meskipun niatnya tidak diucapkan. Kemudian, pernyataan niat yang tidak sempurna masih dianggap sah menurut hukum . Kecuali kalau ucapannya salah, maka dipandang tidak sah. [7]
Meskipun demikian, pernyataan niat tidak didevinisikan dengan sempit. hukum Islam juga mengakui pernyataan niat dengan menggunakan isyarat. Tetapi, hal tersebut tidak berlaku sebagai ketentuan umum. Hanya berlaku pada ksus-kasus tertentu, seperti pada kasus mempelai wanita Ketika dia diam, tersenyum, atau menangis yang berarti setuju.

Sebenarnya, dari konsep niat tersebut, tidak ada yang secara tegas dibantah atau disangsikan oleh Joseph Schacht. Hanya saja, dia menganggap bahwa konsep tersebut sangat rumit, dan merepotkan. Karenanya, dia menyarankan agar semua bentuk pernyataan niat perlu diuji kembali. Terlebih pada pernyataan niat yang dianggap meragukan dan tidak jelas (mubham).

D. Kesimpulan dan Penutup
Niat adalah sesuatu yang sangat penting, sebagai manifestasi dari ajaran Islam yang tidak hanya mementingkan aspek lahir, tetapi juga aspek batin. Ketika kita melihat seseorang yang pergi kepasar, secara spontan kita bisa mengartikan bahwa dia akan membeli sesuatu. Tetapi, belum tentu demikian kalau kita melihat dari sisi hatinya. Karena bisa saja dia ingin mencuri atau melakukan hal-hal lainnya. Dengan demikin, Islam sangat seimbang dalam mengajarkan konsep niat, dimana bukan amal perbuatan semata yang dinilai, tetapi juga ketulusan hati.

Akan halnya dengan anggapan Joseph Schacht yang menyatakan bahwa konsep niat sangat rumit, sebetulnya tidak demikian. karena tidak setiap Ibadah menghajatkan konsep-konsep niat seperti yang dijelaskan diatas. Al-Imam Al-Syafi’i sendiri memasukan niat hanya dalam tujuh puluh masalah-masalah keislaman. Berarti, yang selebihnya sangat fleksibel. Ibnu Rusyd Dalam bukunya Bidayah al-Mujtahid, mengemukakan dua pendapat mayoritas ulama tentang niat. Yang intinya adalah: niat diwajibkan sebagai persaratan untuk kesempurnaan sifat dan bilangan suatu ibadah. Sedangkan ibadah yang tidak memiliki sifat dan bilangan, tidak diperlukan niat, karena sudah bisa difahami secara akal[8]. Dengan demikian, sebenarnya konsep niat dalam Islam tidaklah sesulit dan serumit yang dibayangkan oleh Joseph Schacht. Demikian semoga bermanfaat.



End Not
[1] Joseph Schacht, Pengantar Hukum Islam, hal. 173
[2] al-Nawawi, Yahya Syarofuddin, Al-Imam , Al-Arba’in Al-Nawawiyyah, Jeddah: 1415 H, Muassasah al-Thiba’ah wa al- Shihafah wa al- Nasyr hal. 9
[3] Ibid, hal. 10
[4] Al-Jaziry, Abdurrahman , Al-Fikh ala Madzahib al-Arba’ah, Beirut: tanpa tahun, Ihya Al-turats Al-Aroby, hal.209
[5] Ibid, hal. 209
[6] OP. Cit. Joseph Schacht hal. 174
[7] OP. Cit. Joseph Schacht hal. 174
[8] Ibnu Rusd, Bidayah Al-Mujtahid, tanpa nama kota dan tahun, Dar Al-Fikr, hal. 329

Selasa, 02 September 2008

Ramadhan: Puasa Membuka Tabir Jati Diri Muslim


Sejak bulan rajab menjelang – terlebih ketika memasuki pertengahan bulan sya’ban – suasana hati kaum muslimin di berbagai belahan penjuru dunia dihinggapi kerinduan yang mendalam. Perasaan tersebut merupakan manifestasi cinta seorang hamba yang terdorong oleh fitrahnya untuk segera bersimpuh dan bersujud di hadapan Tuhan-Nya, mengingat gerak-gerik serta langkah kakinya yang – mungkin – selama ini bertambah jauh dari jalan-Nya. Hal ini merupakan tradisi baik yang telah dicontohkan oleh Nabi sendiri dan para sahabatnya, dimana mereka melakukan persiapan yang matang untuk menyambut kedatangan ramadhan. Karenanya – dalam menyambut ramadhan – para ulama terdahulu senantiasa meningkatkan kwalitas ibadahnya seraya berdoa, ”Ya Allah, karuniakan kepada kami pada bulan ini (Ramadhan) keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. Berikanlah kepada kami, taufik dan i’anyah-Mu agar kami mampu melaksanakan amalan-amalan yang Engkau cintai dan Engkau ridhai.”. hal ini senada dengan salah satu sabda yang diucapkan oleh nabi : Ya Allah, berkahilah kami di bulan rajab dan sya’ban, dan sampaikan kami kepada ramadhan(). Maka kita berucap al-hamdulillah penuh syukur, karena kita sekarang sudah berada di dalam.

Nilai Puasa

Bulan ramadhan sering juga disebut dengan bulan puasa, karena pada bulan tersebut ibadah puasa diwajibkan bagi setiap muslim yang telah cukup syarat. Sebenarnya, jika puasa dikaitkan dengan nilai-nilai agama atau alasan-alasan spiritual, maka hal tersebut telah menjadi bagian dari kebiasaan ummat manusia sejak zaman pra sejarah. Hal ini sebagaimana tersebut dalam Kitab Mahabarata, Injil, Qur’an, dan kitab-kitab suci agama lainnya (wikipedia, 29, 2008). Karenanya Allah s.w.t berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS.2: 183). Dalam ayat tersebut, Allah memberikan perintah dalam bentuk kalimat pasif (diwajibkan atas kalian). Ini menggambarkan, bahwa Allah tidak memonopoli puasa sebagai kewajiban yang datang dari-Nya semata, tetapi, manusia pun – di setiap tingkatan dan masa – memiliki kesadaran untuk melaksanakannya, mengingat manfaatnya yang begitu banyak (Quraisy Syihab, 1994).

Dalam pandangan Agama Hindu, puasa bertujuan untuk mematikan kehendak yang akan membawa manusia kepada penderitaan yang berkepanjangan. Karena dalam pandangan penganutnya, selama raga masih kuat, maka jiwa akan terhambat menuju nirwana – sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Sidarta Gautama ketika ia bertapa di bawah pohon bodhi, sehingga tubuhnya menjadi kurus kering tinggal tulang (HAMKA, 1983).

Sedangkan dalam Islam, puasa dimaksudkan sebagai media untuk mengarahkan dan mengendalikan diri, agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh nafsu yang akan menghantarkannya pada jalan yang salah. Karenanya, meskipun halal, selama berpuasa seorang muslim diharamkan makan, minum, dan melakukan hubungan seksual; terlebih hal-hal yang haram secara syar’i, seperti mencuri, berbohong, bersumpah palsu, membicarakan aib orang dan yang lainnya. Dan hal ini penting untuk dilakukan, mengingat naluri manusia diberi kebebasan oleh Allah s.w.t, tidak seperti binatang, yang secara insting telah teratur dengan sendirinya – dapat mengatur jenis, kadar, dan kebutuhannya, seperti makan, tidur, kawin dan yang lainnya. Inilah yang terkadang menimbulkan bahaya, atau paling tidak menghambat fungsi dan tujuan kemanusiaannya – jika tidak diatur atau diseimbangkan (Quraisy Syihab, 1994).

Puasa dan Jati Diri

Puasa sebagai usaha lahir batin, tidak hanya dilakukan oleh manusia, tapi juga oleh binatang-binatang tertentu. Seekor kepompong tidak akan pernah bermetamorfosa menjadi kupu-kupu dewasa yang indah dan cantik sebelum menjalankan “tapa brata” selama berhari-hari, dengan tidak makan dan minum. Proses ini sangat berat, melebihi apa yang dilakukan oleh puasa manusia. Namun, demi untuk menguak jati diri yang sebenarnya – karena tidak ingin terjebak dalam kejumudan – dan demi proses transformasi, semua itu dilakukan. Selanjutnya, dalam tingkatan yang lebih tinggi, ada diantara hewan yang melakukan tidur panjang selama musim dingin (hibernasi), seperti kelelawar, beruang kutub, jenis ikan tertentu dan yang lainnya. Proses ini, dilakukan demi untuk mempertahankan eksistensi dirinya di masa masa-masa mendatang. Contoh dari kedua binatang tersebut – yang melakukan ritual puasa sebagai sebuah keharusan – bertujuan untuk menguak jati diri yang sebenarnya, agar menjadi makhluk yang diterima dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya.

Sekarang, bagaimanakah hubungan antara puasa dengan jati diri seorang muslim? Dalam diri manusia, terdapat beberapa unsur yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Unsur-unsur tersebut – sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Imam Al-Ghozali – adalah animalisme, sadisme, satanic, akal dan rabbani. Seseorang yang dalam hidupnya terpengaruh oleh ketiga unsur negatif tadi, maka akan berprilaku layaknya hewan dan syetan, yang tidak tau malu, bengis, profokatif, mementingkan diri sendiri dan yang lainnya. Sedangkan kedua unsur positif (akal dan robbani) yang dimilikinnya terkadang tidak banyak membantu – kalah. Karenanya, seorang muslim memerlukan media lain untuk membantu dan menanggulangi krisis tersebut, dan yang paling efektif adalah ”puasa”.

Dengan berpuasa seorang muslim akan berusaha sedapat mungkin untuk mendekatkan dirinya kepada Allah, melakukan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangannya. Dengan demikian, ia akan mampu menelanjangi dirinya dari unsur-unsur tercela di atas; dan dalam pada itu, kecantikan serta keelokan pribadinya yang selama ini terpendam, akan muncul sebagai buah dari kesungguhannya, menjadi energi posotif yang banyak membawa manfaat. Lebih lanjut, Al-Ghozali menjelaskan, bahwa orang yang berpuasa dengan penuh kesungguhan (imanan wa ihtisaban) akan mampu membangkitkan energi positif yang terpendam dalam dirinya, yaitu: pertama, memiliki kejernihan dan ketajaman hati; karena puasa tak ubahnya zakat yang membersihkan sisa harta. Sebagaimana sabda Rasul.s.a.w.: ” segala sesuatu memiliki zakat, dan zakat badan adalah puasa. (HR: Ibnu Majah). Kedua, memiliki kepekaan terhadap sesama; karena seorang yang perutnya lapar akan mengingatkan selalu pada penderitaan sesamanya – tidak egois atau mementingkan diri sendiri. Ketiga, dapat mengendalikan diri dari syahwat; karena syahwat berasal dari energi yang dihasilkan oleh asupan makanan, maka orang yang lapar, akan jauh dari bayang-bayang syahwatnya yang memikat. Ketiga, menyehatkan badan dari berbagai gangguan penyakit. KH. Wahid Hasyim (mantan mentri agama pertama, yang juga bapak dari KH. Abdurahman Wahid) senantiasa mendawamkan puasa – meski di luar ramadhan – karena beliau merasakan, bahwa dengan berpuasa penyakit gula yang dideritanya menjadi berkurang. Keempat, menciptakan kesederhanan; karena seorang yang berpuasa akan menginsafi dirinya, bahwa hidup bukan sekedar makan, minum, dan berfoya-foya, tapi memiliki tujuan yang jauh lebih mulia. Demikianlah beberapa hal positif yang harus digali oleh setiap muslim yang melakukan ibadah puasa. Sehingga, paska ramadhan, nilai-nilai tersebut diharapkan dapat membumi kedalam pribadi setiap muslim – kembali kepada fitrahnya.


Kamis, 21 Agustus 2008

Imam Syafi'i dan Seorang Ateis


Seorang ateis mendatangi majlis Imam Syafi'i r.a., kemudian dia mengatakan: "Bukti apa yang dapat anda tunjukan tentang eksistensi Allah?" Maka sang Imam pun menjawab: " Daun murbey memiliki satu rasa, satu warna, satu aroma, dan satu karakter; tapi, ketika dimakan oleh ulat sutra, maka akan menghasilkan serat sutra; ketika dimakan oleh lebah, maka akan mengeluarkan madu; ketika dimakan oleh kambing, maka akan menumbuhkan daging dan menambah air susunya; ketika dimakan oleh rusa, maka aka memberinya nutrisi, dan dari kulitnya keluar minyak kesturi. Siapakah yang menjadikan hal tersebut memiliki banyak kategori dan hasil berbeda, sedang asalnya hanyalah satu? Dialah Allah.

فتبارك الله أحسن الخالقين

Belajar Dari Semut

Semut adalah salah satu jenis serangga yang hidup secara berkoloni. Jenis ini – yang termasuk kedalam family Formicidae – ­ jika dilihat dari bentuknya, tampak mirip seperti lebah. Allah s.w.t. mengabadikan nama tersebut dengan menjadikannya sebagai salah satu nama surat (Surat Al-Naml). Ketika Nabi Sulaeman a.s. sedang mengadakan perjalanan bersama bala tentaranya, beliau sempat dibuat tergelak oleh “seekor ketua koloni semut” yang bertingkah polah seperti dirinya. Al-Qur’an mencatatnya sebagai berikut: “Seekor semut berkata, wahai para semut, masuklah kalian ke tempat masing-masing, agar tidak terinjak-injak oleh sulaeman dan bala tentaranya, sedang mereka tidak merasakan”. (QS. al-Naml:18)

Senada dengan al-Qur’an, science modern mengungkap, bahwa semut memiliki alat komunikasi tersendiri – berupa kode-kode khusus – yang dipergunakan untuk memahami antar satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, semut-semut tersebut dapat menjalin kerjasama dengan baik, dan dapat pula memecahkan setiap problem yang ada dengan jalan musyawarah untuk mufakat – super organisme.

Ketika seekor semut mendapati makanan, maka dengan sigap akan langsung membawanya menuju sarangnya, baik untuk dibagikan secara langsung atau untuk disimpan sebagai cadangan makanan. Namun ketika tidak mampu membawanya, karena beban yang terlalu berat, maka hewan tersebut akan memanggil teman-temannya. Dan atas komandonya, sebagai penemu pertama – dalam barisan yang cukup panjang laksana devile pasukan – makanan tersebut akan dibawa secara bergantian – seperti sedang mengusung jenazah – menuju gudang penyimpanan makanan.

Dalam menyimpan makanan, jenis binatang ini memiliki intelegensia yang cukup tinggi. Dimana kalau makanannya berupa biji gandum, maka akan dibelahnya menjadi dua bagian, dan kalau berupa biji ketumbar, maka akan dibelahnya menjadi empat bagian. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar biji-bijian tersebut tidak tumbuh dalam sarang yang berupa terowongan-terowongan di dalam tanah. Namun yang lebih mengherankan lagi, semut adalah satu-satunya hewan yang mengubur bangkai sesamanya setelah terjadi pertarungan – menunjukan rasa bela sungkawa dan tanggung jawab.

Agaknya, inilah yang menjadi alasan (hikmah) kenapa Allah s.w.t. mengabadikan karakter semut di dalam al-Qur’an. Tentunya, agar – dengan tamtsil tersebut – kita mampu mewujudkan tata laksana organisasi dan kepemimpinan yang baik. Sehingga, kemakmuran dan kesejahteraan hidup akan segera terwujud. “Sesungguhnya pada hal yang demikian itu, terdapat pelajaran bagi orang-orang yang memiliki hati atau menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikan peristiwanya”. (QS. Qof:37).

Rabu, 20 Agustus 2008

ORANG-ORANG ASING DI MATA ALLAH

Akir-akhir ini, aliran-aliran keislaman cukup marak di Indonesia. Kita mendengar tentang Ahmadiyah, Islam Sejati, ajaran Salamullah, Al-Qur’an Suci, kemudian Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan yang lainnya. Dimana kesemuanya muncul kepermukaan dengan membawa karakteristiknya masing-masing. Sehingga, tak jarang ajaran-ajarannya menyalahi apa yang sudah ditetapkan oleh Allah s.w.t. Maka pastinya, hal-hal tersebut akan sangat mengganggu, bahkan merusak perkembangan Islam yang hakiki, yang dikehendaki oleh Allah.s.w.t.

Bercampurnya ajaran-ajaran Islam yang murni dengan faham-faham lainnya – baik dulu maupun sekarang – adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat kita ingkari lagi. Adapun sebabnya – yang membuat keislaman seseorang menjadi menyimpang dapat dikatakan melalui dua faktor. Pertama, extern (pengaruh yang berasal dari musuh-musuh Islam) dan kedua, intern (pengaruh yang berasal orang-orang Islam sendiri). Namun agaknya, penyimpangan atau kesesatan yang melanda ummat ini, banyak disebabkan oleh kalangan Islam sendiri, inilah yang sangat berbahaya. Karena satu logam besi, jika dipukul dengan jenis logam besi yang sama, akan terlihat jelas kerusakannya.

Setiap kita (sebagai orang awam), dapat melakukan penyimpangan-penyimpangan dari ajaran Islam yang sebenarnya, karena kebodohan dan kelalaian kita. Namun ini tidak seberapa, karena dampaknya hanya kepada diri kita pribadi. Tapi, kalau yang melakukan penyimpangan adalah seorang tokoh atau seorang ulama, maka akan sangat berbahaya, karena ajaran-ajarannya akan diikuti dan dijadikan sebagai petunjuk bahkan agama baru oleh para pengikutnya. Maka kalau sudah demikian, akan sangat susah untuk dihilangkan. Karena sebuah ideologi apaun bentuk dan macamnya, kalau sudah terlanjur muncul kepermukaan, maka akan sangat susah untuk dimusnahkan. karena pastinya, ada saja yang menjadi pengikut dan pembelanya. Ibarat pepatah arab mengatakan:

لكل ساقط لاقط

“setiap sesuatu yang jatuh, selalu ada pemungutnya”

Rasulullah s.a.w bersabda:

" إن الله تعالى يبعث لهذه الأمة على رأس كل ما ئة سنة من يجدد لها دينها" (حديث صحيح أحرجه أبو داود)

Sesungguhnya Allah s.w.t. Akan mengutus kepada ummat ini, di setiap penghujung abad (setiap seratus tahun sekali), orang-orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka”.

Hadits Rasulullah tersebut, menyatakan tentang akan hadirnya para mujaddid (pembaharu) yang akan memperbaharui agama Allah. Dimana mereka didatangkan atau dihadirkan oleh Allah setiap seratus tahun sekali. Maka pertanyaannya adalah, apakah orang-orang yang menyatakan bahwa dirinya mendapat wahyu dari Allah, kemudian mengaku sebagai Nabi, ingkar terhadap sunnah, tidak mewajibkan sholat dan puasa, disebut sebagai mujaddid-mujaddid yang diutus oleh Allah s.w.t kepada kita? Jawabannya – pasti – bukan. Karena yang dimaksud tajdid disini, bukannya memperbaharui sesuatu yang fundamental, yang menjadi prinsip dalam agama kita, atau menghadirkan sesuatu yang baru yang menyalahi Al-Qur’an dan Sunnah, atau mencampuradukan ajaran-ajaran Islam dengan yang lainnya. Tapi yang dimaksud tajdid di sini adalah membersihkan Islam dari unsur-unsur luar yang merasukinya, sehingga Islam tampak jadid (baru) sebagai mana asalnya – sesuai dengan Al-Qur’an dan hadits.

Rasulullah s.a.w. Bersabda:

تركت فيكم أمرين لن تضلوا بعدى ما ان تمسكتم بهما, كتاب الله وسنة رسوله...

“ aku telah tinggalkan kepada kalian dua pusaka, dimana jika kalian berpegang teguh kepadanya, maka tidak akan pernah sesat, yaitu kitabullah dan sunnah rasulnya”

Maka, marilah kita menimbang apa yang kita lakukan dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Jika apa yang kita lakukan bersesuaian dengan keduanya, maka itulah kebenaran yang datangnya dari Allah, tapi kalau yang kita lakukan bertentangan dengan keduanya, maka itulah kesesatan yang harus kita hindari.

Allah s.w.t berfirman:

اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتى ورضيت لكمالإسلام دينا

Agama Islam yang kita peluk saat ini, adalah agama yang sudah disempurnakan ajaran-ajarannya oleh Allah s.w.t, sehingga akan selalu sesuai dengan tuntutan zaman, kapanpun dan dimanapun. Maka tidak perlu ditambah-tambahkan, atau dikurang-kurangkan.

Akhirnya, sebagai penutup dari tulisan yang singkat ini, marilah kita renungkan kembali hadits nabi berikut ini:

إن الإسلام بدأ غريبا وسيعود غريبا كما بدأ, فطوبى للغرباء, قيل من هم يا رسول الله؟ قال: الذين يصلحون إذ فسد الناس"

“sesungguhnya, Islam muncul sebagai agama yang asing, dan akan kembali (dianggap) asing seperti sedia kala, maka beruntunglah bagi orang-orang yang dianggap asing. Rasulullah s.a.w. ditanya, ‘siapakah orang-orang yang dianggap asing tersebut?”. Rasul menjawab:” mereka adalah orang-orang yang senantiasa berada dalam kebenaran, meskipun yang lain menyimpang”.

Mudah-mudahan kita termasuk kedalam golongan ummat Muhammad, yang selalu terpelihara dari hal-hal yang akan membuat kita semakin jauh dari ajaran-ajaran islam yang hakiki. Amin!

Papa Berjasa, Kaya Berderma

Allah S.W.T. berfirman dalam surat Al- Hasyr ayat ke 9:

والذين تبوؤا الدار والإيمان من قبلهم يحبون من هاجر إليهم ولا يجدون فى صدورهم حاجة مما أوتوا ويؤثرون على أنفسهم ولوكان بهم خصاصة. ومن يوق شح نفسه فأولئك هم المفلحون.

(dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum kedatangan mereka (orang-orang muhajirirn), mereka mencintai mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang-orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka merekalah orang-orang yang beruntung).

Yang menjadi sabab al-nuzul, atau sebab turunnya ayat tersebut adalah... sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Huraeroh berikut ini:

Disebutkan, bahwa suatu hari Rasulullah s.a.w. kedatangan seorang tamu. Beliau menerimanya dengan baik, lalu mengutarakannya kepada istri-istrinya (agar dijamu). Tapi mereka berkata: ”kami tidak memiliki apa-apa selain air putih”. Kemudian Rasulullah mendatangi para sahabatnya seraya bersabda: ”siapakah yang mau menerima tamuku ini dan menjamunya?” salah satu sahabat dari golongan anshor berkata: ” saya, wahai Rasulullah.” sahabat tersebut kemudian bergegas membawa tamunya kerumahnya dan berpesan kepada istrinya dengan berkata: ”muliakanlah tamu Rasulullah ini”

Istrinya menjawab perlahan: ”kita tak punya apa-apa selain makanan untuk anak-anak kita.” suaminya berkata.”siapkan makananmu, nyalakan pelitamu, dan tidurkan anak-anakmu.” sebelum makan malam, sang istri menyiapkan makanan, menyalakan lampu, dan menidurkan anak-anaknya. Ketika akan makan, ia berdiri seolah akan memperbaiki lampu, agar terkesan bahwa dia dan suaminya juga seolah-olah sedang makan. Mereka berdua membunyikan alat makannya, didalam gelap gulita itu... Keduanya menahan lapar semalaman, karena jatahnya disediakan untuk tamu Rasulullah.

Keesokan harinya, sahabat Anshor tersebut menghadap Rasululullah. Maka Rasulullah bersabda: ”Allah sangat kagum dan tertawa (melihat) perbuatan kalian berdua.” lalu, Allah S.W.T. menurunkan ayat diatas...

Ayat yang tersebut diatas, secara tidak langsung, memuji kedermawanan dari seorang Anshor tadi, yang lebih mengutamakan orang lain karena kebutuhannya, dari pada diri dan keluarganya, ولو كان بهم خصاصة (meskipun, secara pribadi, mereka juga termasuk orang-orang yang sangat membutuhkan). Begitu agung sifat itsar, yang ditunjukan oleh sahabat tadi, sehingga Allah menjadi terkagum, dan tertawa, atas apa yang dilakukannya.

Dalam sebuah riwayat lain disebutkan, bahwa Qais bin Saad bin Ubadah yang terkenal sangat dermawan, ketika jatuh sakit, kawan-kawannya merasa malu untuk menjenguknya; karena mereka banyak berhutang kepadanya. Melihat kondisi tersebut, Qais berkata: ”semoga Allah menghinakan harta yang menghalang-halangi kawan-kawanku untuk menjengukku.” lalu, ia-pun menyuruh seseorang untuk memberitahu mereka, bahwa pada hari itu, hutang-hutang mereka telah dianngap lunas. Maka tak lama kemudian, datanglah kawan-kawannya untuk menjenguknya. Dan hampir saja, pintu rumahnya menjadi rusak, karena banyaknya orang yang berkunjung.

Melihat Kedalam (instrospeksi)

Ketika kita berdiri, bercermin pada ayat dan beberapa riwayat diatas, rasanya, kita malu, karena betapa jauhnya bayangan kita, dari apa yang dilukiskan oleh Allah dan Rasulnya. Bahkan, mungkin sebaliknya, kita adalah orang yang rakus dan tamak, orang yang tidak mau menengok kekiri dan kekanan, untuk berbagi dengan sesama. Yang ada hanyalah aku, aku dan aku, bagaimana kebutuhanku bisa terpenuhi. Bila perlu sikut kiri, sikut kanan, jilat atas injak bawah, bahkan, uang hasil korupsipun tak jadi masalah.

Kadang, kita terbutakan oleh keinginan dan napsu. Sebaliknya, kita menutup rapat hati dan pikiran kita, yang merupakan suara kebenaran dari Allah. Maka berhati-hatilah, ketika keinginan kita sudah melebihi apa yang kita butuhkan!!!

Mungkin, dalam menjalani kehidupan ini, kita hanya butuh satu rumah, tapi kita mau dua bahkan lebih. Mungkin, kita hanya butuh satu mobil, tapi kita mau dua bahkan lebih. Mungkin, kita hanya butuh satu posisi (jabatan), tapi kita mau semua jabatan. Dan, mungkin, kita hanya butuh satu pendamping hidup, tapi kita mau dua bahkan lebih.

Kaya Harta Kaya Amal

Hidup mewah dengan semua yang dihalalkan oleh Allah S.W.T., bukanlah sesuatu yang dilarang. Tapi, bukan berarti kita lantas lupa diri, dan menjadi seorang yang kikir.

Dalam Islam, kita mengenal sosok Imam Al-Laets ibn Saad, seorang ahli fikih terkemuka, yang sezaman dengan Imam Malik. Dalam kesehariannya, hidupnya sangat mewah, berbeda dengan Imam-Imam lainnya. Beliau menikmati semua yang halal, yang dianugrahkan oleh Allah kepadanya. Karena penghasilannya setiap hari, tidak kurang dari 100.000 dinar – jumlah yang sangat banyak. Namun demikian, beliau adalah seorang yang sangat dermawan. Setiap hari, tidak kurang dari 300 orang fakir miskin diberinya makan, diluar sahabat dan kawan-kawannya. Dan sebagaimana kebiasaanya, beliau tidak pernah memberikan sedekah kurang dari 50 dinar.

Suatu hari, seorang wanita datang kepadanya meminta satu rithl madu, untuk mengobati anaknya. Maka Al-laets, memerintahkan juru tulisnya, untuk memberinya, satu Mart (120 rithl). Juru tulisnya berkata: ” wanita itu hanya meminta satu Rithl, mengapa anda memberinya satu marth?”. Al-Laets pun menjawab: ” ia meminta menurut kadar keperluannya, maka saya memberinya menurut kadar kemampuan saya”.

Demikianlah pendiriannya, sehingga tidak heran, meskipun kekayaannya berlimpah, tapi setiap haul (akhir tauhun) sisa tidak pernah mencapai nishob (batas minimal dimana seseorang harus membayar zakat). Sehingga beliaulah orangnya, orang kaya yang tidak terkena taklif untuk membayar zakat. Bahkan dalam fatwanya beliau mengatakan: ” haram hukumnya bagi seorang muslim untuk menyimpan kekayaan, sebelum orang-orang yang disekelilingnya mencapai haddul kifaf (batas kecukupan)”. Dimana mereka bisa memenuhi kebutuhan pokoknya, tidak ada yang mengemis karena takut lapar, dan tidak ada yang menangis karena kelaparan.

إن ذلك لذكر لمن كان له قلب أو ألقى السمع وهو شهيد ( ق: 37)

(sesungguhnya, pada hal yang demikian itu, terdapat peringatan (pelajaran) bagi orang yang memiliki hati, dan menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya)

Maka marilah kita belajar untuk mendermakan apa yang kita miliki, semata mata karena Allah. Mungkin, kita tidak punya cukup harta, tapi kita punya tenaga. Mungkin, kita tidak cukup punya tenaga, tapi kita punya ilmu yang bisa didermakan. Demikian, dan seterusnya...