Minggu, 18 Oktober 2009

Fantasi Mudik

Mudik, secara sederhana dapat diartikan dengan pulang kampung rame-rame. Lebih tepatnya, sebagaimana yang tertulis dalam Ensiklopedi Wikipedia, yaitu kegiatan perantau atau pekerja migran yang ingin kembali ke kampung halamannya, tempat dimana ia dilahirkan. Di Indonesia, kegiatan tersebut identik dengan tradisi tahunan menjelang hari-hari besar keagamaan, seperti perayaan lebaran dalam Islam atau natal dalam Kristen. Tradisi ini, dalam sejaran Indonesia sudah dikenal sejak berabad-abad lamanya, jauh sebelum Kerajaan Majapahit (1293–1500) berdiri. Dan dalam beberapa literatur dijelaskan, bahwa mudik pada awalnya merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang banyak dipengaruhi oleh agama Hindu.

“Lain dulu lain sekarang”, itulah bunyi ungkapan yang mungkin sesuai untuk menilai beberapa tradisi atau budaya Indonesia yang semakin hari semakin terkikis, tergerus oleh perputaran zaman. Tapi tidak untuk tradisi mudik. Buktinya, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, animo masyarakt untuk mudik setiap tahunnya semakin meningkat. Fenomena ini dapat dilihat dari melonjaknya permintaan jasa layanan transportasi, baik darat, laut, maupun udara. Kenyataan ini, mengakibatkan para pemudik sering kali harus menerima konsekwensi kenaikan tarif yang tidak masuk akal atau layanan yang tidak memuaskan. Belum lagi resiko kecelakaan yang mnegintai setiap saat, baik karena padatnya arus kendaraan, kondisi jalan yang buruk, atau ulah pengendara yang ugal-ugalan. Namun, demi untuk “kumpul” bersama orang-orang tercinta, kenyataan tersebut tidak lagi dianggap sebagai kendala. Bahkan diantara para pemudik, ada yang sengaja memanfaatkan moment ini sebagai “safari tahunan”, dimana kondisi dan hiruk pikuk selama perjalanan dijadikan sebagai pengalaman mengesankan. Hal ini (animo mudik) sangat sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Mentri Perhubungan, Jusman Syafii Jamal, bahwa pemudik tahun ini diprediksi mencapai 15,8 juta orang, atau naik sekitar 6,14 persen dibanding tahun sebelumnya. Ternyata, jumlah tersebut jika dibandingkan dengan penduduk Jabodetabek sekalipun, masih jauh lebih besar, dua kali lipatnya. Maka dapat dibanayangkan, sekiranya pemudik hanya berasal dari penduduk Jabodetabek saja, pastilah kawasan dengan luas 6.850 km2 tersebut akan menjadi kota mati, sepi, tak berpenghuni.

Rekognisi dan Nostalgia

Manusia sebagai makhluk sosial (zoon politiken) memiliki gejala psikis yang subjektif, dan sering disebut dengan perasaan sosial (Sumadi Surya Bata, 2004). Perasaan tersebut, memiliki hubungan yang kuat antara individu dengan sesamanya yang diwujudkan dalam pergaulan, saling tolong menolong, rasa setia kawan, kekeluargaan, persaudaraan dan yang lainnya. Karena itu, seorang yang sudah terlanjur merantau jauh atau tinggal di negeri orang, pada saat-saat tertentu akan mendapati perasaan sosialnya menggeliat kuat dalam jiwanya – merindukan kampung halaman. Terutama ketika dirinya memngingat atau mengenang kembali (recall) orang tua, saudara, suasana rumah, kawan-kawan, pemandangan desa dan yang lainnya. Pendek kata, semua pesan dan kesan yang selama ini sudah tercamkan dalam dirinya, pada saat-saat tertentu – semisal lebaran – akan tereproduksi kembali, bahkan menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Sehingga, munculah kerinduan yang tak tertahankan terhadap kampung halamannya (home sick).

Dorongan Agama dan Tradisi

Lebaran, kendatipun disebut sebagai hari raya kecil (The Smaller Eid), namun memiliki makna yang cukup dalam pada diri setiap muslim; khususnya di Indonesi dan beberapa negara Asia yang memiliki kedekatan budaya. Karena itu, paling tidak, setiap pemudik sudah memprediksi beberapa hal yang akan dilakukan setibanya di kampung halaman – baik yang orientasinya keagamaan atau tradisi. Hal-hal tersebut adalah: Pertama, melaksanakan Sholat Ied bersama keluarga di kampung halaman. Kedua, silaturrahim, sebagai usaha untuk memperbaiki atau menyambung kembali tali persaudaraan yang selama ini telah terbina. Dan sampai hari ini, meskipun alat komunikasi sudah sedemikian canggih, seperti layanan SMS, telpon, email dan yang lainnya, belum mampu menggantikan arti mudik yang sebenarnya. Karena itu, satu-satunya cara yang dinggap paling tepat untuk melakukan hal tersebut adalah dengan “soan” secara langsung terhadap orang-orang yang dimaksud. Ketiga, melakukan ziarah kubur untuk mendoakan dan mengenang orang-orang tercinta yang telah tiada. Dan keempat, untuk menikmati hidangan khas daerah masing-masing yang selama ini mungkin sudah jarang dijumpai, atau bahkan tidak pernah lagi.

Semua hal diatas – baik yang muncul secara alami sebagai gejala psikis atau karena alasan keagamaan – adalah faktor utama yang akan membuat seseorang mereproduksi semua kenangan yang ada dan akhirnya berfantasi. Dan ketika seseorang berfantasi, maka ia akan mampu menempatkan diri dalam kepribadian orang lain, mampu menyelami sifat-sifat kemanusiaan, dam memungkinkan untuk melepaskan dirinya dari kesukaran yang dihadapi. Karena itu, tak mengherankan kalau setiap pemudik memiliki niat dan motivasi yang begitu besar untuk pulang ke kampung halamannya, meskipun dengan resiko yang cukup berat. Semua itu tercipta karena kekuatan fantasinya, sebuah bayangan yang bukan saja melukiskan dunia riil, tapi juga alam imajiner.

Realitas Puasa

Puasa sebagai bagian dari budaya, baik yang bersumber dari agama atau kepercayaan tertentu, merupakan warisan turun-temurun. Manusia telah mengenal ritual ini – dengan aneka cara dan tujuannya – sejak zaman pra-sejarah. Karena itu, dengan meminjam istilah Herskovits, tidak salah kalau puasa disebut sebagai superorganic.

Sampai hari ini, terhitung sejak 22 Agustus yang lalu, ummat Islam di seluruh dunia masih dalam pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan 1430 H. Mereka tidak makan, minum, berhubungan sex, dan melakukan hal-hal terlarang lainnya, dari sejak matahari terbit hingga terbenam.

Meskipun demikian, penulis tidak bermaksud mengangkat tema puasa secara sepihak, berdasarkan kepercayaan atau agama tertentu. Tapi, berusaha menggunakan pendekatan sejarah dan universalitas puasa itu sendiri.

Puasa dari Masa ke Masa

Membincang masalah puasa, tidak dapat dilepaskan dari perkembangan sejarah manusia itu sendiri. Karena sejatinya, puasa telah berurat dan berakar sejauh manusia mengayuh perahu peradabannya. Pemahaman seperti ini, dapat diketahui dengan membaca beberapa literatur keagamaan klasik. Fakhru al-Rozhy (1123-1185 H), ketika menginterpretasikan ayat puasa dalam al-Qur'an, menyatakan bahwa Nabi Adam – manusia pertama penghuni planet bumi ini – adalah orang yang pertama kali melaksanakan ritual tersebut, sebagai titah dari Tuhan-Nya. Dan sampai sekarang pun, milyaran manusia masih berpuasa setiap tahunnya.

Padahal, di tengah arus modernitas dunia dan cara berfikir manusia yang semakin ilmiyah, banyak sekali produk budaya yang harus terkikis sedikit-demi sedikit dan akhirnya hilang menjadi sampah peradaban (Toby E. Huff, 1993).

Dengan demikian, puasa merupakan ritual yang kian lama mata rantainya kian berputar kencang, tidak aus, atau putus oleh arus perputaran zaman. Sebaliknya, puasa mampu menebarkan aromanya di setiap waktu. Sehingga, manusia dalam lapis norma, kepercayaan, dan etnis yang berbeda, terus berlomba untuk menghisap sari dan madunya.

Puasa Dalam Perspektif

Agama Samawi atau agama Abrahamik, yang meliputi Islam, Kristen dan Yahudi, memiliki cara dan tujuan tersendiri dalam pelaksanaan puasa. Sebagai contoh, dalam Islam, puasa dianggap sebagai rukun Islam yang ke-empat, dan ditujukan untuk meningkatkan derajat ketakwaan.

Al-Ghozali, dalam kajian mystic-nya pernah menjelaskan, bahwa dalam diri setiap orang, bersemayam lima unsur yang berbeda: sadistic, animalistic, satanic, akal, dan robbaniyah. Kelima unsur tersebut, saling mempengarui satu sama lain. Namun, relitanya, unsur-unsur negatif yang lebih sering mendominasi. Sehingga, poses menuju ketakwaan menjadi terhambat. Karena itu, puasa dihadirkan sebagai proses akselerasi untuk merealisasikan tujuan tersebut.

Demikian pula dalam Agama-agama Timur, puasa dianggap sebagai bagian dari proses keagamaan yang sangat penting. Sebagai contoh, Sidarta Gautama, pernah melakukan tapa brata di bawah pohon bodhi dengan tidak makan dan minum. Tujuannya, tidak lain untuk membuang jauh "kehendak diri" yang membuat jiwanya menjadi sengsara. Ia percaya, bahwa dengan membuang kehendak tersebut, jiwanya akan sampai pada kebahagiaan nirwana.

Sementara itu, dalam kepercayaan tradisional, atau yang sering disebut dengan "agama nenek moyang", puasa juga dipercaya memiliki nilai-nilai positif tertentu. Orang-orang jawa, dalam tradisi primordial, banyak yang melakukan ritual puasa untuk memperoleh kesaktian, mengasah ilmu-ilmu kanuragan. Sebaliknya, orang-orang Inca di Peru dan suku-suku asli Amerika percaya, bahwa puasa dapat pula dijadikan sebagai media penebusan dosa.

Dalam perkembangannya, puasa tidak saja dikaitkan dengan dimensi spiritual-keagamaan semata, tapi juga dimensi politik dan medis. Dewasa ini, puasa (mogok makan) sering digunakan untuk mengekspresikan keprihatinan atau protes terhadap sebuah kebijakan. Bahkan, hunger strike dianggap sebagai perlawanan tanpa kekerasan yang ampuh dalam merealisasikan berbagai tujuan. Sebagai contoh, pada Desember 2007 yang lalu, seorang politikus, David Swan, melakukan puasa selama tujuh hari, sebagai bentuk keprihatinan terhadap krisis Darfur, di tengah dunia yang seolah membisu. Bahkan, lebih dari itu, sekelompok orang di Jawa Barat, pernah melakukan aksi mogok makan dengan menjahit mulut mereka selama tiga pekan, sebagai protes terhadap kasus SUTET (saluran udara tegangan ekstra tinggi) yang dinilai sangat merugikan mereka.

Sedangkan dalam science modern, melalui pendekatan medis, puasa terbukti dapat berfungsi sebagai terapi kesehatan dan membantu seseorang dalam mewujudkan prilaku hidup sehat. Terlebih, jika seorang pasien akan menjalani operasi pembedahan dengan menggunakan obat bius (anesthetic), maka ia tidak diperbolehkan makan selama beberapa jam – sesuai anjuran dokter. Karena asupan makanan yang masuk dalam sistem pencernaan seorang pasien, selama proses anesthetia tersebut berlangsung, dapat menyebabkan komplikasi yang berakibat fatal.

Demikianlah puasa, budaya yang terlahir dari Determinasi-Kulturalnya yang beragam. Budaya yang tidak hanya dijalani oleh orang-orang primitif atau tradisioanal semata, tapi juga oleh golongan cerdik pandai. Budaya yang multifungsi, multidimensi, dan universal.