Selasa, 02 September 2008

Ramadhan: Puasa Membuka Tabir Jati Diri Muslim


Sejak bulan rajab menjelang – terlebih ketika memasuki pertengahan bulan sya’ban – suasana hati kaum muslimin di berbagai belahan penjuru dunia dihinggapi kerinduan yang mendalam. Perasaan tersebut merupakan manifestasi cinta seorang hamba yang terdorong oleh fitrahnya untuk segera bersimpuh dan bersujud di hadapan Tuhan-Nya, mengingat gerak-gerik serta langkah kakinya yang – mungkin – selama ini bertambah jauh dari jalan-Nya. Hal ini merupakan tradisi baik yang telah dicontohkan oleh Nabi sendiri dan para sahabatnya, dimana mereka melakukan persiapan yang matang untuk menyambut kedatangan ramadhan. Karenanya – dalam menyambut ramadhan – para ulama terdahulu senantiasa meningkatkan kwalitas ibadahnya seraya berdoa, ”Ya Allah, karuniakan kepada kami pada bulan ini (Ramadhan) keamanan, keimanan, keselamatan, dan keislaman. Berikanlah kepada kami, taufik dan i’anyah-Mu agar kami mampu melaksanakan amalan-amalan yang Engkau cintai dan Engkau ridhai.”. hal ini senada dengan salah satu sabda yang diucapkan oleh nabi : Ya Allah, berkahilah kami di bulan rajab dan sya’ban, dan sampaikan kami kepada ramadhan(). Maka kita berucap al-hamdulillah penuh syukur, karena kita sekarang sudah berada di dalam.

Nilai Puasa

Bulan ramadhan sering juga disebut dengan bulan puasa, karena pada bulan tersebut ibadah puasa diwajibkan bagi setiap muslim yang telah cukup syarat. Sebenarnya, jika puasa dikaitkan dengan nilai-nilai agama atau alasan-alasan spiritual, maka hal tersebut telah menjadi bagian dari kebiasaan ummat manusia sejak zaman pra sejarah. Hal ini sebagaimana tersebut dalam Kitab Mahabarata, Injil, Qur’an, dan kitab-kitab suci agama lainnya (wikipedia, 29, 2008). Karenanya Allah s.w.t berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS.2: 183). Dalam ayat tersebut, Allah memberikan perintah dalam bentuk kalimat pasif (diwajibkan atas kalian). Ini menggambarkan, bahwa Allah tidak memonopoli puasa sebagai kewajiban yang datang dari-Nya semata, tetapi, manusia pun – di setiap tingkatan dan masa – memiliki kesadaran untuk melaksanakannya, mengingat manfaatnya yang begitu banyak (Quraisy Syihab, 1994).

Dalam pandangan Agama Hindu, puasa bertujuan untuk mematikan kehendak yang akan membawa manusia kepada penderitaan yang berkepanjangan. Karena dalam pandangan penganutnya, selama raga masih kuat, maka jiwa akan terhambat menuju nirwana – sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Sidarta Gautama ketika ia bertapa di bawah pohon bodhi, sehingga tubuhnya menjadi kurus kering tinggal tulang (HAMKA, 1983).

Sedangkan dalam Islam, puasa dimaksudkan sebagai media untuk mengarahkan dan mengendalikan diri, agar seorang muslim tidak terpengaruh oleh nafsu yang akan menghantarkannya pada jalan yang salah. Karenanya, meskipun halal, selama berpuasa seorang muslim diharamkan makan, minum, dan melakukan hubungan seksual; terlebih hal-hal yang haram secara syar’i, seperti mencuri, berbohong, bersumpah palsu, membicarakan aib orang dan yang lainnya. Dan hal ini penting untuk dilakukan, mengingat naluri manusia diberi kebebasan oleh Allah s.w.t, tidak seperti binatang, yang secara insting telah teratur dengan sendirinya – dapat mengatur jenis, kadar, dan kebutuhannya, seperti makan, tidur, kawin dan yang lainnya. Inilah yang terkadang menimbulkan bahaya, atau paling tidak menghambat fungsi dan tujuan kemanusiaannya – jika tidak diatur atau diseimbangkan (Quraisy Syihab, 1994).

Puasa dan Jati Diri

Puasa sebagai usaha lahir batin, tidak hanya dilakukan oleh manusia, tapi juga oleh binatang-binatang tertentu. Seekor kepompong tidak akan pernah bermetamorfosa menjadi kupu-kupu dewasa yang indah dan cantik sebelum menjalankan “tapa brata” selama berhari-hari, dengan tidak makan dan minum. Proses ini sangat berat, melebihi apa yang dilakukan oleh puasa manusia. Namun, demi untuk menguak jati diri yang sebenarnya – karena tidak ingin terjebak dalam kejumudan – dan demi proses transformasi, semua itu dilakukan. Selanjutnya, dalam tingkatan yang lebih tinggi, ada diantara hewan yang melakukan tidur panjang selama musim dingin (hibernasi), seperti kelelawar, beruang kutub, jenis ikan tertentu dan yang lainnya. Proses ini, dilakukan demi untuk mempertahankan eksistensi dirinya di masa masa-masa mendatang. Contoh dari kedua binatang tersebut – yang melakukan ritual puasa sebagai sebuah keharusan – bertujuan untuk menguak jati diri yang sebenarnya, agar menjadi makhluk yang diterima dan mampu beradaptasi dengan lingkungannya.

Sekarang, bagaimanakah hubungan antara puasa dengan jati diri seorang muslim? Dalam diri manusia, terdapat beberapa unsur yang saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Unsur-unsur tersebut – sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Imam Al-Ghozali – adalah animalisme, sadisme, satanic, akal dan rabbani. Seseorang yang dalam hidupnya terpengaruh oleh ketiga unsur negatif tadi, maka akan berprilaku layaknya hewan dan syetan, yang tidak tau malu, bengis, profokatif, mementingkan diri sendiri dan yang lainnya. Sedangkan kedua unsur positif (akal dan robbani) yang dimilikinnya terkadang tidak banyak membantu – kalah. Karenanya, seorang muslim memerlukan media lain untuk membantu dan menanggulangi krisis tersebut, dan yang paling efektif adalah ”puasa”.

Dengan berpuasa seorang muslim akan berusaha sedapat mungkin untuk mendekatkan dirinya kepada Allah, melakukan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangannya. Dengan demikian, ia akan mampu menelanjangi dirinya dari unsur-unsur tercela di atas; dan dalam pada itu, kecantikan serta keelokan pribadinya yang selama ini terpendam, akan muncul sebagai buah dari kesungguhannya, menjadi energi posotif yang banyak membawa manfaat. Lebih lanjut, Al-Ghozali menjelaskan, bahwa orang yang berpuasa dengan penuh kesungguhan (imanan wa ihtisaban) akan mampu membangkitkan energi positif yang terpendam dalam dirinya, yaitu: pertama, memiliki kejernihan dan ketajaman hati; karena puasa tak ubahnya zakat yang membersihkan sisa harta. Sebagaimana sabda Rasul.s.a.w.: ” segala sesuatu memiliki zakat, dan zakat badan adalah puasa. (HR: Ibnu Majah). Kedua, memiliki kepekaan terhadap sesama; karena seorang yang perutnya lapar akan mengingatkan selalu pada penderitaan sesamanya – tidak egois atau mementingkan diri sendiri. Ketiga, dapat mengendalikan diri dari syahwat; karena syahwat berasal dari energi yang dihasilkan oleh asupan makanan, maka orang yang lapar, akan jauh dari bayang-bayang syahwatnya yang memikat. Ketiga, menyehatkan badan dari berbagai gangguan penyakit. KH. Wahid Hasyim (mantan mentri agama pertama, yang juga bapak dari KH. Abdurahman Wahid) senantiasa mendawamkan puasa – meski di luar ramadhan – karena beliau merasakan, bahwa dengan berpuasa penyakit gula yang dideritanya menjadi berkurang. Keempat, menciptakan kesederhanan; karena seorang yang berpuasa akan menginsafi dirinya, bahwa hidup bukan sekedar makan, minum, dan berfoya-foya, tapi memiliki tujuan yang jauh lebih mulia. Demikianlah beberapa hal positif yang harus digali oleh setiap muslim yang melakukan ibadah puasa. Sehingga, paska ramadhan, nilai-nilai tersebut diharapkan dapat membumi kedalam pribadi setiap muslim – kembali kepada fitrahnya.